O2 ; drunk

369 57 13
                                    

— h a p p y r e a d i n g —

Bar malam ini tidak seramai biasanya. Terbukti dari banyaknya meja yang masih kosong, dan sebagian lainnya yang hanya dihuni dua sampai empat orang saja.

Mungkin itu yang menjadi alasan kegaduhan penuh semangat yang terbentuk oleh sekelompok orang di tengah ruangan.

Jarum jam telah menunjuk angka sepuluh. Artinya mereka sudah menghabiskan waktu selama tiga jam. Namun kenyataannya, tidak ada tanda-tanda mereka lelah apalagi berniat ingin pulang.

Mereka masih asik bercerita seolah besok adalah hari akhir dimana mereka tidak bisa lagi berjumpa. Wajar saja, karena di sekolah mereka jarang bersama atau berbagi hal menyenangkan.
Terlebih besok tanggal merah, tidak perlu khawatir kelelahan atau bangun kesiangan.

Tetapi sepertinya, Yura adalah satu-satunya orang yang tidak tertarik untuk nimbrung, mendengarkan, apalagi mengomentari. Kepalanya tergeletak di atas meja sejak tiga puluh menit yang lalu.

Pusing.

Yura bahkan tidak ingat, berapa gelas beer yang telah ia minum.

Rambut yang terurai menutupi sebagian wajahnya. Orang lain mungkin mengira Yura tertidur, namun bibirnya yang bergumam tanpa suara menandakan cewek itu sedang kehilangan setengah kesadarannya.

“Ra, lo tidur?” Mona bertanya, usai kembali dari toilet. Tidak ada tanggapan, ia lalu menggoyangkan lengan sahabatnya itu. “Bangun heh, rambut lo nyemplung ke mangkok saos.”

Yura mengerjap beberapa saat setelahnya. Sewaktu kepalanya terangkat, barulah rona merah yang menghiasi kedua pipinya itu nampak kentara.

Mona terkejut mengetahui aroma menyengat memasuki indera penciumannya, tatkala ia mendekatkan diri ke tubuh Yura. Meskipun Yura sesekali—di saat-saat tertentu—mengkonsumsi minuman yang berkadarkan alkohol, tetapi ia tidak pernah kehilangan kontrol atas dirinya.

Namun kali ini, Yura benar-benar mabuk.

“Anjir! Lo minum berapa ember sampe teler gini?!” serunya, mengalihkan atensi teman-temannya.

Esa yang semula hanya sibuk berbicara, seketika menoleh. Ia buru-buru beranjak. Sorot matanya sarat akan khawatir. “Ra, lo mabuk?”

Belum sempat Esa meraih tangan Yura untuk mengajaknya pulang, Yura lebih dulu menepisnya. Bibirnya merengut. “Apaan sihhh ... Nggak usah pegang-pegang, aku nggak lagi nyeberang jalan.”

Tentu saja, nada suaranya tidak beraturan.

“Pulang sekarang ya, gue anterin.”

“Gamauuuuu.”

“Lo nggak bisa nyetir sendiri, anjir. Mau celaka lo?”

Yura menggeleng. Ia memiringkan kepalanya sebentar, sebelum akhirnya tertawa dalam senyum lebarnya. Telunjuknya berputar-putar pada Esa yang berlutut di depannya. “Esaaa ... kok kamu pake jaket ojol sih.”

Jaket yang tengah dikenakan Esa berwarna hitam dengan sedikit coretan hijau di bagian sampingnya. Sekilas memang seperti milik ojek online, makanya ia enggan berhenti di pinggir jalan setiap kali memakai jaket itu.

“Iya, gue ojolan sekarang.” Esa mengiyakan sambil menghembuskan napas ringan. Percuma berdebat atau membantah ucapan orang yang tidak sadar. Menang tidak, emosi iya.

“Kenapaaa ... kakek kamu kan juragan lele. Demi uang seratus ribu kamu bahkan pernah nyemplung ke got, waktu ikannya lompat dari ember karna kolamnya lagi dikuras.”

Ucapan Yura sontak membuat orang-orang yang mendengar tidak mampu membendung tawa. Tidak menyangka bintang sekolah yang menjadi incaran perempuan, juga eksis di kalangan ikan lele.

“Seriusan, Es? Gue baru tau lo segigih itu,” tanggap Mona menahan perutnya yang sakit karena terpingkal.

Esa mendelik tidak terima. “Percaya sama Tuhan, dosa banget lo.”

“Hahhhh ... padahal kamu sering koleksi majalah dewasaaa,” sahut Yura membongkar aib lagi.

Sungguh, Yura mungkin akan menyesal berkata demikian apabila ia bukan orang yang Esa pedulikan. Nyatanya, Esa sedang menahan diri untuk tidak mengubur Yura hidup-hidup.

“Lo mabuk banget plis, pulang oke? Nggak takut nyokap lo marah?”

Dengan gerakan cepat, Yura berdiri. Mengejutkan Esa yang perlu memundurkan tubuhnya dan ikut berdiri. “Oiyaaaaa ... mamaaa ...,” ucapannya menggantung begitu tangannya tidak menemukan benda yang dicarinya di saku celana. “Hape aku manaaa.”

“Kenapa?” tanya Mona bingung. “Hape lo ilang?”

Hanya anggukan yang menjadi jawaban. Ketika yang lain jadi ikut mencari barangkali tertutupi barang-barang di meja, ia menepuk tangannya. “Ahhh ... kan tas aku tadi di mobil hehehehe maaf ya semuanya.”

Esa memijat kepalanya pening. Untuk pertama kalinya, ia malu mempunyai kenalan seperti Yura. Yura yang selalu cemerlang pintar setiap harinya, malam ini layaknya orang tidak ber-IQ.

Bodoh.

Cowok itu melempar pandangan menuju Yura yang menjauh dengan langkah sempoyongan. “Mau kemana lo?”

Melihat adanya kunci mobil di genggaman tangan Yura, Esa menghembuskan napas lelah tanpa berniat mengejarnya. Memilih pasrah, terserah apa yang akan Yura lakukan.

Sementara itu, Yura yang sudah berada di luar, menekan remote pada kunci untuk mengetahui keberadaan mobilnya. Beruntung di waktu seperti ini, ia masih bisa menggunakan akalnya.

Yura berjalan melalui sisi samping bangunan. Langkahnya yang tidak bisa ia kuasai, membuat kakinya tersandung pot semen di dekat kakinya, bersamaan dengan hadirnya sosok manusia lain yang menahan badannya agar tidak mengantuk lantai parkiran.

“Tante, gapapa?”

“T—Tan ... te?” Yura mengeja tidak habis pikir. Bukan mbak, tetapi tante?

Mulutnya yang mengatup, terbuka kembali. Sumpah serapah yang hendak ia semprotkan tertahan, saat perutnya menjadi sangat mual. Tanpa sempat menghindar, isi perut Yura keluar mengotori jaket orang di hadapannya—yang masih mengaitkan jemari di lengan Yura.

Orang itu mundur, lantas mengumpat kencang. “What the fvck!”

Tubuh Yura yang semakin terasa melemah dan tidak siap menopang berat badan ambruk begitu saja. Sebelum akhirnya kesadarannya hilang secara total, ia bisa melihat orang itu mengomel tiada henti, alih-alih memberikan pertolongan padanya.

Blacklist bahkan sebelum kenal.

• TBC •

HAH NGETIK APA AKU😔👎🏻

ANW GUYS, plis gimme vote n comment kalo kalian tertarik sama cerita ini hahahaha!!

oke.

love,

hehet!

epiphanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang