Chapter 6

58 7 0
                                    

Aku berlari dari kejaran seseorang yang berpakaian serba hitam. Ia berniat membunuhku dan teman-temanku. Saat berusaha menyelamatkan diri, aku kehilangan jejak yang lainnya. Secara tiba-tiba, orang tadi berada di depanku dan aku tertusuk oleh mata pisau yang sedari tadi ia tunjukkan kepadaku.

Aku pun terbangun dan kini aku berada di rumah sakit. Aku tidak tahu rumah sakit macam apa ini, tetapi di ruangan yang sama terdapat Alf, Khai, Nutta, Rei, Sven, dan Zhou. Posisi mereka sama sepertiku; terbaring di masing-masing ranjang di ruang rumah sakit ini. Seseorang membuka tirai yang menutup pandangan di depanku. Orang itu adalah kembaranku. Pandangannya sangat dingin dan menusuk.

'Sudah kubilang, kau jangan dekati mereka! Mereka itu pengganggu.'

---o0o---

Aku masih terjebak di sekolah karena hujan deras yang tidak kunjung reda. Dengan bodohnya, aku menolak tawaran nenek untuk meminjamkan payungnya saat aku berangkat sekolah tadi. Aku benar-benar tidak menyangka pagi yang cerah tadi digantikan hujan deras kini. Dan sekarang, akibatnya aku harus menunggu di sekolah sampai hujan agak reda.

Kini aku sendirian, hanya ditemani oleh sesuatu yang tidak terlihat; wi-fi sekolah. Yang lainnya sudah pulang duluan karena tidak mau terjebak macet ─tentu saja karena mereka membawa payung. Setelah puas menatap layar ponselku, aku mengalihkan pandangan ke sekitar. Sekolah sudah hampir sepi. Keberadaan murid di sini sudah bisa dihitung dengan jari. Di tengah lamunan, aku pun mulai memikirkan perkataan kembaranku ─yang sudah muncul dua kali di mimpiku dan mengatakan hal yang sama. Cukup benar apa yang dia katakan. Sejak malam menginap kemarin, sudah kedua kalinya kami diganggu oleh hal-hal aneh. Bahkan, Alf dijebak oleh entah siapa dan menyebabkan kami hampir tidak mempercayainya lagi; untungnya kejadian itu dapat diatasi. Namun, aku tidak menghiraukan mimpi itu. Mungkin itu hanyalah sebuah bunga tidur. Aku sama sekali tidak berniat untuk memutus tali pertemanan kami.

Aku melirik jam tangan yang dikenakan oleh seseorang di sebelahku. Ternyata sudah pukul lima sore. Pantas saja baterai ponselku hampir habis. Aku pun tersenyum, merasa bodoh karena baru menyadari di ponselku pun ada jam digital di pojok kanan layar. Sudah dua jam aku menunggu di sini, rasanya mau tidak mau aku harus pulang sekarang juga. Aku tidak ingin menunggu sampai langit benar-benar sudah gelap. Dan tentu saja karena aku pun tidak mau diganggu oleh makhluk aneh penunggu sekolah tua ini. Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju gerbang.

Tiba-tiba ada seseorang yang berjalan terburu-buru tepat di depanku; hampir saja kami bertabrakan. Sempat terpikir kalau ia bukanlah manusia, karena wajahnya yang ditutupi masker dan pakaian serba hitam yang digunakannya. Saat aku hendak menerobos hujan, penjaga sekolah menghampiriku dan meminjamkan sebuah payung ─tumben sekali. Biasanya penjaga sekolah sini kurang peduli. Entahlah, mungkin karena kepala sekolah baru menegur mereka karena ketidakpeduliannya.

Aku berhenti di tempat penyebrangan dan menunggu saat yang tepat agar aku bisa menyebrang. Beberapa menit kemudian saat itu pun telah tiba, lantas segera saja kuayunkan kaki secepat mungkin. Setelah sampai di seberang jalan, hujan pun mereda. Kususuri trotoar ini sambil tetap memperhatikan jalan. Aku pun mengangkat kepala untuk memperhatikan arahku berjalan. Dari kejauhan terlihat seseorang yang hampir menabrakku di sekolah tadi. Aku mengenalinya dari jaket hitam yang ia gunakan dan sepasang mata yang sepertinya tidak asing lagi. Pandangannya yang sangat menusuk tertuju kearahku. Apakah ia marah karena aku hampir menabraknya? Aku pun hanya melewatinya dan membalas pandangannya itu.

'Ada yang salah dengan diriku?'

Entah mengapa, tiba-tiba aku merasakan sesuatu menusuk punggungku. Rasanya sangat sakit sampai aku tidak mampu menopang tubuhku sendiri. Seketika pandanganku mulai meredup.

7/9Where stories live. Discover now