Chapter 3

95 8 0
                                    

Aku melewati pagar sekolah dengan mudah. Malam ini pintu pagar tidak dikunci. Lagipula, siapapun pasti akan mengurungkan niat untuk memasuki gedung ini di malam hari. Tak hanya pintu pagar, pintu masuk sekolah pun tak dikunci. Pintu demi pintu ruang kelas telah kucoba untuk membukanya. Sayang, semua ruangan dikunci. Kecuali ruang Bahasa Asing yang hanya tertutup rapat, tanpa rantai melilit di gagangnya dan gembok yang menguncinya.

Tak biasanya ruang kelas dibiarkan tidak terkunci seperti ini. Aku memasuki ruang kelas yang disinyalir merupakan kelas paling menyeramkan di sekolah tua ini. Kosong. Tak ada satupun kursi atau meja disana. Lebih mengherankannya lagi adalah saat kusadari bahwa seluruh dinding ruangan ini telah ditutupi oleh kain hitam. Ada apa ini?

---o0o---

Malam semakin larut dan aku masih terjaga. Aku terpikirkan kecurigaan Zhou terhadap Alf. Bukan hanya hipotesis yang kutangkap dari apa yang telah Zhou ucapkan tadi sore di sekolah, mimpi kemarin malam juga masih mengganggu pikiranku di tengah kesunyian malam. Hingga hari telah berganti, di otakku masih terbayang mimpi singkat itu. Ya, memang bunga dalam tidurku kerap kali menjadi sebuah kenyataan. Dan apakah ini sebuah firasat? Bukan, di dalam mimpi itu tak ada hal buruk terjadi, hanya saja ada sebuah ketidakwajaran di ruang bahasa asing. Hati kecilku mulai berbisik. Kalau hati sudah berbicara, tak ada lagi yang bisa menghalangi. Aku beranjak dari tempat tidur, mengikuti kata hati.

Kuambil jaket FC Barcelona berwarna biru yang tergantung di balik pintu dan bergegas keluar rumah. Dengan berbekal keberanian, aku melawan dinginnya angin malam nan menusuk tulang. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku pun mengendarai motor kesayanganku —hadiah yang baru kudapat dari kedua orangtuaku─, melintasi jalan yang begitu lengang, sangat berbeda saat siang hari. Berhenti sejenak di minimarket 24 jam dan menyusuri trotoar menuju bangunan tua diujung jalan.

Aku tak mau ambil risiko kalau satpam sekolah itu melihat kendaraan yang biasa kupakai kemanapun sedang terparkir didepan sekolah pada malam hari. Maka, motor besar itu kuparkirkan di minimarket tak jauh dari sekolah, hanya berjarak sekitar lima puluh meter. Jadi, sekalipun aku tertangkap basah sedang menyusup, aku tak perlu berlari terlalu jauh, lalu memacu motorku secepat mungkin untuk melarikan diri.

Bangunan peninggalan Belanda yang satu ini adalah sekolahku, tempat kami menuntut ilmu. Yang mana juga merupakan salah satu sekolah tertua di ibukota. Oleh karena itu, tak heran jika sekolah ini terkenal; bukan hanya karena prestasi yang berhasil dicapai para peserta didiknya saja, tapi juga karena keangkeran gedung yang ditempati sekolah ini. Maklum, gedung ini dibangun pada awal tahun 1900-an. Berarti sudah lebih dari seratus tahun gedung ini berdiri, tapi bangunannya masih tampak kokoh tanpa pemugaran total.

Aku jadi teringat saat reuni beberapa waktu lalu dengan teman-temanku dibangku SMP. Kami sempat membahas tentang betapa seramnya sekolahku yang sekarang. Dari situ aku baru yakin kembali kalau tempat ini benar-benar menyeramkan. Keyakinan itu memang sempat singgah di benakku. Sebab, ketika melihat bangunan ini untuk pertama kalinya, aku seperti melihat ada aura hitam yang membayangi bangunan yang menjadi tempatku menuntut ilmu hingga saat ini. Kuperhatikan bayangan hitam itu semakin memekat saja seiring dengan berjalannya waktu.

Demi mendapat informasi yang lebih jelas dan terpercaya tentang sekolah ini, aku sempat sedikit berbincang dengan salah seorang penjaga sekolah mengenai keseraman di tempatnya bekerja ini. Menurut penuturannya, sebenarnya sekolah ini tidak terlalu menyeramkan di malam hari karena sudah tak ada lagi kegiatan yang dapat 'mengganggu mereka'. Mereka akan merasa tergganggu jika tempat ini berubah menjadi sangat ramai, terutama saat jam pulang sekolah di sore hari. Menurutnya, dari sore sampai menjelang malam adalah saatnya mereka mulai keluar dari persembunyiannya di siang hari.

Hal itu wajar bagiku, karena siapapun juga pasti akan merasa terganggu kalau melihat sekaligus mendengar kelakuan murid-murid di sini —termasuk aku. Murid-murid itu bagaikan tahanan yang baru saja dibebaskan dari penjara. Sangat liar. Ada yang berteriak memanggil temannya di seberang lapangan untuk mengajak pulang bersama atau sekedar meminjam buku. Berlari kejar-kejaran karena dijahili oleh temannya, sangat tidak mencerminkan perilaku anak SMA sama sekali. Atau bahkan ada yang dengan sengaja menendang bola ke arah tembok dengan kencang. Dan saat bola itu memantul jauh, mereka akan berteriak untuk meminta seseorang membawa kembali bola itu.

7/9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang