15. Barter

4.2K 630 100
                                    

Didedikasikan untuk @JhonAbraham

"Kau kelihatan frustrasi sekali, Nyonya Arum." Kahfie meletakkan secangkir kopi hitam pesanan Arum di atas meja. "Apa yang mengganggu pikiranmu?"

Arum mendesah keras. Gurat frustrasi tergambar jelas di wajahnya. Persis, seperti Kahfie katakan. "Aku tidak rela kalau warisan akan segera berpindah tangan."

Kahfie menyimak. Tadi siang, Arum menghubunginya dan menyimpulkan, ada yang mengusik ketenangan batin dan pikiran istri sahabatnya itu. Maka, di OrchitZ Cafe miliknya lah mereka memutuskan bertemu dan berdiskusi.

"Mau bagaimana lagi, alat tukar dari pernikahan itu berlangsung adalah harta warisan. Kakek Wijaya sendiri yang menentukannya."

"Kau benar, tapi aku benar-benar tidak rela. Yang benar saja, semua harta itu akan jatuh ke tangan Anggun. Itu sudah pasti!"

Kahfie mengangguk. Ia tahu persis hal itu. Bram tipikal pria dengan royalitas tinggi terhadap kelasihnya. "Jalankan saja rencana A dan Anggun, biarlah aku yang mengurus."

"Aku tidak yakin," lirih Arum. Dia menyesap cairan hitam pahit nan hangat itu secara perlahan.

"Pasti berhasil. Buat Bram tersudut, dengan begitu dia tidak akan punya alasan mengelak."

Arum tak menjawab. Matanya berputar ke sekeliling kafe milik Kahfie. Aroma kopi yang mendominasi, musik jazz mengalun lembut dan juga perabot pelengkap benar-benar memberikan kesan nyaman. Baru lima menit berada di dalamnya, Arum bisa merilekskan tubuh dan pikirannya.

"Kuharap, kau selalu di belakangku. Mendukungku, Kahfie."

Kahfie meraih jemari Arum, lalu menggenggamnya hangat. "Pasti."

"Terima kasih," balas Arum. Dia sempat tersipu, namun dengan cepat dia menarik tangannya dari genggaman pria empat tahun lebih muda darinya itu.

"Minum kopimu, nanti dingin tidak nikmat lagi."

Arum menarik sudut bibirnya sebelum kembali menyesap kopi racikan Kahfie. Diam-diam, Arum terkesan dengan sikap hangat dan humoris Kahfie. Dirinya tidak membutuhkan waktu lama untuk dapat akrab dengan pria itu. Arum berangan-angan yang duduk di depannya itu adalah Bram. Sekali lagi, semua hanyalah andai-andai. Arum menggeleng, mengusir rasa pedih yang hinggap di hatinya ketika mengingat perlakuan pria berstatus suaminya itu.

Gelagat Arum sempat ditangkap Kahfie dan menyimpulkan penyebabnya adalah temen berengsek--Bramastha.

"Pria sialan seperti Bram tidak perlu dipusingkan, Nyonya. Lebih baik pikirkan pria tampan nan menawan di hadapanmu ini."

Arum tergelak. "Berhenti memanggilku demikian, Bocah!"

Kahfie tak terima digelari sebutan bocah membalas Arum dengan julukan pula. "Heh, jangan begitu dong, Tante. Bocah-bocah tapi bisa menciptakan bocah, lho."

Tawa Arum kian membahana mendengar gurauan Kahfie. Yang benar saja!

"Jangan mimpi! Aku sama sekali tidak tertarik padamu!"

Kahfie pura-pura merajuk. "Wah-wah. Sombong sangat, kau Tante!"

Arum menjulurkan lidahnya, mengolok Kahfie. Dia tidak ambil pusing dengan imejnya di mata pria itu Untuk Arum, berada di sekitar Kahfie tidak perlu menutupi sifat aslinya yang buruk sekalipun.

Our Hope(less)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang