6. Mustahil

11.1K 1K 133
                                    

Didedikasikan untuk baby_yu

Bisakah kau menghitung rintik hujan?

Karena ... sebanyak itulah rasa rinduku yang terpendam selama ini untukmu...

(Cendara Arum)

*******

Perlahan Arum mengangkat pandangan ke arah pria di depannya, di seberang tempat duduknya. Jarak mereka hanya dibatasi sebuah meja kaca. Dekat, teramat dekat, akan tetapi jiwa merekalah yang terasa begitu jauh. Sangat jauh.

"Katakan, apa ini bagian dari tipu muslihatmu?!"

"Tipu muslihat apa?! Sudah kukatakan aku juga baru mengetahuinya, berhentilah menuduhku, Bram!" Perkataan Bram sungguh mengusik hati dan pikirannya. Tidak bisakah adik angkatnya itu berbaik sangka?

"Jika ini terbukti rencana jahatmu, aku tidak akan segan-segan menyiksamu! Kau tau persis akan seperti apa? Dan Kuharap kau tidak bodoh untuk mengulanginya lagi," ancam Bram.

Dan sukses membuat sekujur tubuh Arum meremang, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Jujur dia tengah dilanda rasa takut yang begitu hebat. Diam-diam kedua tangannya meremas ujung kemeja yang dia kenakan, mengurangi kegugupannya.

Arum tahu, seorang Bramastha Wijaya tidak main-main dengan ucapannya. Dia paham betul pahitnya bertahun-tahun lalu, bagaimana sadis dan tanpa ampun pria itu menyiksa batin serta fisiknya, bahkan untuk melenyapkan sebuah nyawa pun sanggup dilakukan. Dia tidak inginkan hal itu terulang kembali.

"Jangan bermimpi aku akan sudi menikah dengan wanita tua sepertimu. Di mataku, kau teramat hina!'' Cecar Bram lantang untuk mengingatkan Arum bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi, sekalipun sudah tidak ada jalan lain merebut ahli waris dari kakek Wijaya.

Tanpa harus ditekankan berulang-ulang, aku tahu kedudukkaanku di matamu, Bram.

Setidaknya ... berhenti menyakiti perasaanku.

"Aku tidak tertarik sedikitpun," balas Arum. Matanya membalas tatapan tajam Bram tanpa takut.

"Benarkah? Kau kira aku akan percaya, Bitch?"

"Jangan merasa di atas awan dulu. Kau tahu pasti apa yang aku lakukan padamu bila hal itu benar terlaksana," tandas Bram.

Menghela napas keras. "Terserah katamu," kilah Arum melemah, kemudian bangun dari duduknya. Berdiri hati-hati menginjak lantai berserakkan pecahan kristal vas bunga lalu menatap Bram yang juga memandangnya, jijik.

"Ada lagi yang ingin kau katakan? Jika tidak aku permisi." Tanpa menunggu jawaban dari Bram, Arum melangkah dan berlalu meninggalkan ruang baca kakek Wijaya.

Debat dengan adik angkatnya itu,
akan membuang-buang energi saja, sebab sampai kapanpun dia menyadari ... Bram tetap menyalahkannya. Selalu menyalahkannya.

Sialan!

Bram mengumpat dalam hatinya. Tidak seperti tindakannya beberapa belas tahun lalu, yang dianggap mengerikan oleh orang-orang sekitarnya. Kali ini, Bram lebih tertarik menekan secara mental wanita yang membuat masa mudanya suram. Terlihat tegar, namun dia yakin bahwa batin wanita itu tengah menangis sekarang.

Dan---apa yang baru saja terjadi enam puluh menit lalu di ruang itu? Bram sendiri hampir mati karena syok. Apa yang ada dipikirkan kakek Wijaya sampai membuat keputusan seperti itu tadi? Apa kesempatan pembuktiannya tidak berlaku lagi? Bahkan kakek Wijaya belum bertemu dengan kekasihnya, Anggun Prameswari.

Our Hope(less)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang