13. Nyonya Bramastha Wijaya

7.6K 764 69
                                    

Di dedikasikan untuk BouMeiMei

"Aku ingin bercerita di telingamu, sampai kau mendengarkanku. Aku ingin berbicara lewat matamu, sampai kau memandangku, dan aku ingin sekali menyentuhmu, sampai kau merasakan kehadiranku dalam hidupmu."

__Cendara Arum__

❤❤❤❤❤❤❤

"Saya terima nikah dan kawinnya Cendara Arum binti Arman dengan emas kawin tersebut, tunai!"

"Sah?" tanya penghulu.

"Sah!" Jawaban dari seluruh kepala yang ada di ruang Masjid Istiqlal itu mengamini sepasang laki-laki dan perempuan, menjadi sepasang suami-istri.

Arum terlihat begitu anggun dalam balutan kebaya hasil rancangan salah satu designer ternama. Make-up minimalis dengan sanggul modern kian menonjolkan kecantikan sejati dari aura terpancarkan. Siapapun yang melihat, akan berdecak kagum dan terpesona. Namun sayang, hal itu sama sekali tidak membuat Bram menoleh atau melirik mempelai wanitanya barang sedikit pun.

Miris.Perasaan sesak, haru dan perih menggerogoti hati dan jiwa Arum. Memaksa sesuatu keluar dari balik kelopak matanya. Kini, dia telah resmi, sah sebagai seorang istri dari seorang Bramastha Wijaya. Harusnya Arum senang, bahagia. Namun entah mengapa, dia justru merasakan kepedihan?

Cepat-cepat, Arum menepis kegundahan di benaknya. Memasang senyum semanis mungkin dan melanjutkan proses tata cara dan adat-istiadat perkawinannya hingga akhir. Dia tidak ingin ada yang melihatnya menangis bersedih di hari tersakral dalam hidupnya.

"Cieee ... yang udah jadi laki-bini," goda Shelomitha pada Bram di tengah keheningan yang tercipta.

"Hush! Bahasamu, Shelo! Tidak sopan! Kita masih di dalam masjid, jangan bicara sembarangan. Mengerti kamu?!" tegur Masayu tegas membuat bungsu dari Wisnu Wijaya itu bungkam. Ditambah dengan delikkan tajam yang Bramastha layangkan untuk gadis berusia dua tahun lebih muda di bawahnya itu, kian menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Selamat ya, Nak. Mama turut bahagia untuk kalian," tukas Masayu. Dia meraih puncak kepala Arum, kemudian menciumnya. Dan ketika hendak melakukan hal yang sama pada sang putra, Bram menolak. Putranya itu memberinya tatapan penuh emosi dan kemarahan di dalamnya. Masayu paham betul, Bramastha begitu membencinya karena tidak dapat melakukan apa pun untuk menggagalkan pernikahan itu terjadi.


"Apa tidak ada cara untuk menghentikan kegilaan ini, Ma?! tanya Bram dengan nada suara yang terdengar penuh kemarahan. Saat itu dia sedang berada di kamar tidur orangtuanya. Bram hampir kehilangan kewarasannya karena desakan pernikahan itu. Bram mengutuki seluruh anggota keluarga yang hanya mampu berdiam tanpa melakukan usaha apa pun agar dapat membantunya.

Masayu terisak di tepi ranjang. Sungguh. Dia tidak memiliki hak dan kemampuan seperti putranya itu inginkan. "M-mama tidak bisa, Bram. Kau tahu betul bagaimana watak Kakekmu, siapa yang bisa menentangnya, Nak?" ujar Masayu dengan bercucuran air mata. "Papamu sama sekali tidak dapat diandalkan, apalagi status Mama yang hanya menantu di rumah ini, Bram," lanjutnya.

"Aku tidak percaya, kalian sekejam ini padaku, anaka kandung kalian sendiri! Kalian lebih mengutamakan, mengagung-agungkan wanita sialan itu!"

"Tidak Bram, bukan seperti itu. Mama mohon mengertilah," sanggah Masayu panik. Dia tidak mengharapkan putranya itu salah paham.

Bram mondar-mandir di depan Masayu yang terus terguguk di pinggir kasur. Kepala Bram hampir pecah memikirkan kegilaan itu, tubuhnya mendidih larena getaran kemarahan. Dia hampir-hampir membanting semua isi rumah jika tidak sang mama menyeret paksa dirinya ke kamar.

Our Hope(less)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang