12. Menyusun Rencana Cadangan

7.5K 714 56
                                    

Didedikasikan untuk uli3anne89




"Dua hal yang tidak bisa aku hentikan. Yaitu; laju air mataku dan rasa cintaku padamu."

Cendara Arum

❤❤❤❤❤❤❤



Langit kehitaman menggulung mendung, mengundang hujan. Angin bertiup  tenang namun dingin menusuk, seolah cuaca senja kala itu menggambarkan persis perasaan Arum yang sedang gundah.

Di benak wanita berusia tiga puluh satu tahun itu, bercokol banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Entah bagaimana lagi caranya untuk dapat menaklukkan Bramastha. Rasa-rasanya segala sesuatu telah dicoba----sampai hal terekstrem sekali pun. Tetap saja hasilnya nihil, nyaris gagal.

Mungkin benar, secara hukum dan agama Arum bisa mengikat raga seorang Bramastha. Mengklaim kepemilikan, tapi bagaimana dengan jiwa, hati dan perasaan sang adik angkat yang tak lain berstatus suaminya kelak? Bram tentu saja tidak akan mau mengakui dirinya sebagai istri. Kebencian Bram kepadanya sudah mendarah daging. Akan sulit untuk mengubahnya, mungkin juga tidak akan pernah bisa.

Arum menggeleng. Sudut bibirnya tersenyum ironi, pedih. Bahkan batinnya pun tidak sanggup membayangkan akhir dari kisahnya. Tidak sanggup membayangkan rasa sakit yang dia peroleh dari cinta bertepuk sebelah tangan. Lalu mengapa diteruskan? Mengapa tidak diakhiri saja? Begitu pikir orang-orang 'kan?

Ketahuilah ... kalian pernah dengar istilah cinta bisa membuat seseorang yang pintar sekali pun mendadak bodoh. Membuat seseorang waras, menjadi gila? Rela melakuan kebodohan-kebodohan demi mendapat cintanya? Rela melakukan kegilaan-kegilaan asalkan bisa terus bersama orang yang dicintainya?

Seperti itulah seorang Cendara Arum. Wanita bodoh penuh kegilaan demi rasa cintanya yang tak terbendung kepada Bramastha Wijaya.



"Memikirkan Bram, Nona?"

Sedikit tersentak, Arum mengangkat wajahnya yang semula hanyut di dalam secangkir hangat cairan hitam di atas meja itu lalu mencari-cari mata Kahfie. "Tidak juga," jawab Arum ringkas. "Tapi benar juga," sambungnya cepat. Entahlah. Di mata Kahfie, Arum saat itu kelihatan lelah dan tidak fokus.

"Jawaban macam apa itu? Pilih salah satu. Iya atau tidak, itu saja."

"Aish! Kau ini ..."


Kahfie cengar-cengir menampilkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Arum baru menyadari, pria seusia Bramastha itu punya gingsul di sudut kanan atas giginya. Manis.


"Mengaku sajalah, apa susahnya. Tidak ada yang melarang dan tenang saja ... aku nggak akan bocorkan ini pada siapa pun."



Arum menggeleng takjub. Antara kesal akan kepercayaan diri Kahfie, juga salut dengan ketepatan pria itu menebak jalan pikiran seseorang. Pria yang duduk di depannya itu terlalu pintar  membaca bahasa tubuh yang menjadi lawan bicaranya atau justru Arumlah bagai sebuah buku terbuka lebar, hingga memungkin siapa saja dapat membacanya dengan mudah?


"Sok tahu! Dasar bocah!" ketus Arum.


Kahfie tergelak. "Aku tidak menyangka kakak dan adik sama-sama gengsi tinggi."


Our Hope(less)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang