WHAT SHOULD I DO?

111 38 39
                                    

"Kau sudah bangun?" Suara yang kuduga adalah Ben, membangunkanku dari tidur.

Aku membuka mata, sesekali aku mengerjapkan mata, silau matahari pagi yang menembus jendela kamar, membuatku susah untuk memfokuskan penglihatan.

Setelah penglihatanku sudah bisa melihat dengan jelas, aku menatap sosok di sudut kamar, di samping lemari. Sosok itu Ben. Dia tampak sibuk mengemasi sesuatu. Aku lalu beranjak duduk, terus-terusan berbaring membuat badanku terasa berat dan pegal.

"Kau tidur nyenyak sekali, bahkan sampai aku datang pun kau belum bangun," ujarnya masih sibuk membereskan sesuatu. "Setelah sarapan, dan kau melakukan pemeriksaan keseluruhan atasmu, kita akan pulang, Eve," lanjutnya.

"Pulang?" tanyaku memasang muka heran.

Apa maksudnya pulang, ya aku tahu makna pulang, tapi pulang? Apa dia akan mebawaku pulang ke rumah kami yang dia ceritakan tadi malam.

"Iya, pulang," Ben mengangguk dan menunggu reaksiku, tapi melihat aku yang tidak berkata apapun, Ben menghentikan kegiatannya lalu berjalan ke arahku.

"Memang Dokter mengatakan bahwa kau akan bisa pulang dua atau tiga hari lagi. Namun dokter juga mengatakan bahwa lebih banyak kau menghabiskan waktu dengan kegiatan rutinitasmu seperti biasa, semakin cepat kau bisa kembali mengingat."

Kini aku paham yang Ben sedang bereskan adalah barang-barang yang akan kami angkut untuk 'pulang'.
Tapi kenapa secepat ini. Aku tahu, aku sudah cukup pulih untuk tidak dirawat di rumah sakit ini lagi, tapi kenapa tiba-tiba sekali. Saat berbicara dengannya semalam, kenapa dia tidak memberitahukan hal ini kepadaku. Apa ini ada hubungannya dengan telepon yang Ben terima tadi malam, atau dia mengetahui tentang suara aneh dari kepalaku. Tapi apa hubungannya?

"Lagi pula, kesehatanmu sudah membaik. Buat apa kita berlama-lama di sini, kau pasti bosankan? Kau sudah menghabiskan empat bulanmu di sini," Ben melanjutkan kalimatnya diakhiri tawa setelahnya. Dia menatapku tanpa ekspresi, hanya balik menatapnya dan Ben pun menghentikan tawa khasnya.

"Oh ayolah Eve sayang, apa kau sudah kehilangan selera humormu?" tanya Ben. Dia menggenggam pergelangan tangan kananku dan menatap mataku penuh kasih sayang, tatapan andalannya.

Aku hanya membalas tatapan matanya itu dengan sebuah senyuman yang terkesan sangat dipaksakan. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana menyikapi perbuatan dan leluconnya yang terkesan dipaksakan itu. Kurasa senyuman sudah cukup sebagai balasannya, bukan?

"Jangan tegang begitu, Eve. Wajahmu mengatakan seakan kau akan mengalami hari-hari yang buruk jika keluar dari rumah sakit ini," Ben kembali bercanda, namun kali ini tidak ada tawa yang terdengar, hanya senyuman manis yang ia berikan dan tatapan andalannya, sebelum dia melepas genggaman tangannya dan berjalan ke arah dia berdiri semula untuk menyelesaikan kegiatannya yang tadi sempat terhenti.

Sesekali Ben mengecek layar teleponnya, dan mukanya kembali menunjukan tatapan itu, tatapan tajam dengan muka kesalnya. Beberapa kali Ben menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kuat. Terlihat sekali Ben tidak nyaman akan apa yang ada didalam telepon genggamnya itu.

Ben menoleh ke arahku, menatap mataku, dalam. Tatapan tajamnya kini berubah perlahan menjadi tatapan Ben yang biasa, namun kekhawatiran tetap terlihat walau samar. Dia menghampiriku dan mengusap rambutku lembut, setidaknya raut wajahnya kini tidak setegang tadi.

"Aku keluar sebentar, Eve, aku akan kembali segera," ujarnya sembari memberikan senyuman khasnya.

Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Ben sudah berjalan menuju pintu, membukanya, lalu menutupnya, kali ini, mungkin juga Ben tidak sadar, tapi dia membanting pintu kamarku dengan sangat keras, tidak seperti biasa.

beLIEveWhere stories live. Discover now