Chapter 1

314 18 4
                                    

Jumat sore. Hari ini kami kebagian piket di kelas terakhir, ruang bahasa asing. Sore ini sungguh membosankan. Selalu. Aku menelusuri laci-laci meja, memeriksa dengan teliti setiap kolong di bawah meja itu. Sampah plastik? Tidak apa-apa. Tapi sungguh merepotkan apabila kulemparkan pandanganku ke ruang kecil di bawah meja itu, terdapat sampah basah nan semerbak seperti sambal, bekas bubur, atau plastik bekas batagor. Karena berbagai pengalaman, aku selalu menggunakan sarung tangan layaknya dokter operasi yang kuminta ayahku belikan seminggu yang lalu.

"Wei, kerjanya yang serius, dong! Supaya bisa cepat pulang," tegurku pada enam anak itu. Seperti biasa, mereka harus diteriaki dulu supaya kerja. Gayanya saja sapu besar itu ditenteng-tenteng, tetap saja handphone yang menjadi pusat perhatian. Ada lagi, si bocah Sven, tidak bisa melepaskan perhatiannya pada buku tebal yang hurufnya tercetak besar-besar di sampul, "MATEMATIKA". Walaupun tangan kanannya gesit mengucek-ngucek kaca jendela besar itu dengan kemoceng, tangan kirinya tetap sibuk menggenggam buku bersampul kuning itu. Alhasil, yang dia 'kucek' selama ini hanya bagian itu-itu saja.

"Iya iya Khai, maaf, hehe," cengir Nutta dan Maru hampir berbarengan. Di pojok sana, Zhou sibuk ngedance menghadap kamera CCTV seakan-akan ia sedang sibuk rekaman untuk video klip di albumnya, tanpa menghiraukan teguranku. "Hei Zhou, kapan kau launching-kan mv-mu itu? Kapan-kapan kubeli album kau dengan harga dua kali lipat, tapi kau lap dulu itu kaca jendela. Susah kali kau kubilangi, sampai-sampai sudah macam orang Medan cara bicaraku ini," teriakku sekali lagi. Zhou tertawa cengengesan, melanjutkan tugasnya.

"Aku sudah selesai menyapu. Aku pulang ya?" tanya Rei tanpa ada rasa sedikitpun rasa berdosa di punggungnya yang bergegas keluar kelas. "Hei, Rei, kau tunggulah kawan kau ini sejenak. Baru saja Alf mengepel hasil sapuanmu, tega kali kau tinggalkan kelas ini sendirian. Mengapa cara bicaraku benar-benar berevolusi?" Kelas tergelak, aku merasa konyol dengan lawakan murahanku yang keluar begitu saja dari mulut. Mungkin sudah terlalu pusing dengan sikap teman-temanku yang beragam jenis.

Rei kembali masuk kelas dengan setengah hati. Kali ini aku yang nyengir. Aku melanjutkan penelusuran laci-laci meja. Bagianku ringan, bukan? Kedengarannya. Kalau kau masuk ke kelas ini, baru tahu rasanya membersihkan laci meja sekelas.

Lima menit berlalu. Tibalah aku di laci meja terakhir. Ada secarik kertas bergumul saus yang telah mengering. Hanya satu baris kalimat terakhir yang masih bisa sedikit terbaca, "Nginep coy, lt. 2 seru abiz." Aku spontan memanggil keenam temanku itu. Kelimanya semangat, tapi seperti biasa, Sven berjalan perlahan karena perhatian dari bukunya sulit dipecahkan. Mencegah kecelakaan saat berjalan, ia berjalan perlahan sambil sibuk menjadikan kemocengnya sebagai tongkat penuntunnya.

"Kenapa Khai?" semua berebut bertanya, ramai. Begitu yang dilihat hanya secarik kertas lengket yang mengering, seakan wajah mereka menunjukkan turunnya rasa semangat penasaran. "Eh, sebentar. Sepertinya aku merasa ada yang aneh dengan kertas ini. Feeling-ku mengatakan kita harus mengikuti pesan ini. Menginap!" cegahku agar mereka tak bergegas pergi. "Ah ada-ada saja, ya kali tidak ada satpam galak itu mengawas. Kalau ketahuan, habis ini leher dicincang," bantah Rei dengan sangat tidak masuk akal. Tiba-tiba, Sven yang tiada putus matanya memperhatikan buku besar itu, menyahut, "Ayo ayo! Aku bawakan cemilan yang banyak deh! Sekalian kalau mau kubawakan termos berisi air panas penuh untuk menyeduh mie, mungkin? Atau cokelat panas? Semua bahan makanan yang kalian mau akan kupersiapkan! Sisanya, kebutuhan lain kalian bagi-bagi. Oiya, tidak lupa seluruh akses ke sekolah ini semuanya aku yang atur, jadi tidak perlu khawatir lagi. Aku penasaran banget sama keberadaan hantu! Aku ingin menyelidiki keberadaannya sampai tuntas-tas-tas!" cerocos panjang manusia termuda di antara kami itu.

"Hei, jangan bilang kau masih mau menyelidikinya dengan perhitungan matematis gilamu itu? Ayolah, sekalipun kita benar-benar mau menginap, hanya untuk seru-seruan. Lepaskan bukumu semalaaam saja," Maru menimpali. Hei, bukankah berarti itu artinya dia setuju? "Jangan kepedean, ya, Khai. Aku bisa lihat dari wajah sumringah-mu itu. Aku tidak percaya masalah secarik kertas itu, tidak seperti kau yang begitu percaya keadaan mistis di sekolah ini. Sekali lihat bayangan saja, sudah teriak-teriak seperti orang kesurupan," tambahnya yang membuat wajahku totalitas menanggung malu.

7/9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang