23

71.2K 4.5K 94
                                    

Happy Reading

VOTE!

Dhan pernah ke tempat tadi, meskipun hanya satu kali saat tim basket sekolahnya mengadakan perkemahan. Bahkan ia pernah bermalam di tempat tersebut, merasakan dinginnya puncak Bukit Rong.

Waktu itu adalah hari penyambutan anggota tim baru dan juga pemilihan kapten tim. Hanya dua malam, minggu sore mereka kembali ke rumah masing-masing. Bundanya pernah ke sini bersama Zara untuk mengantarkan sate ayam kesukaannya. Waktu itu Dhan dicap sebagai anak mami.

Saat itu pelatih mereka bukanlah Coach Odhi. Pria tersebut baru menjabat sebagai pelatih dua bulan yang lalu.

Perjalanan pulang kembali ke pusat kota Semarang memakan waktu hampir satu jam, jika mereka tak menghentikan perjalanan untuk makan malam dan juga salat isya.

Dhan menghela napas lega. Itu berarti tinggal satu tempat tujuan mereka, yaitu simpang lima. Ia tak tahu apa istimewanya tempat itu bagi Kenan, sampai-sampai Simpang Lima masuk dalam daftar kunjungan mereka. Merepotkan.

Ia duduk diapit oleh kedua orang dewasa itu, mereka sedang duduk di bangku yang berada di trotoar. Anak muda seumuranya berlalu lalang bersama kekasih mereka, sedangkan Dhan lagi-lagi harus rela terlihat seperti anak SMP yang berjalan bersama kedua orang tua.

“Kamu ingat, Nad.” Kenan membuka percakapan. “Minggu lalu kita ketemu di sini.”

Dhan menautkan kening, ia melirik kedua orang dewasa itu secara bergantian. “Kok aku nggak tahu?” Pertanyaan itu spontan keluar begitu saja.

Bundanya tersenyum sebelum berujar, “Minggu lalu Bunda lagi bantuin Nenek Ima jualan. Kamu ingat, nggak?” Dhan hanya membulatkan bibir, ia sangat ingat.

“Jadi kamu bantuin doang?” Kenan menoleh ke arah Nada, wanita itu mengangguk.

“Anaknya Nenek Ima sakit, jadinya aku bantuin. Waktu itu Rian temannya Dhan lagi nginep di rumah, jadi aku bisa bantuin,” jelas Nada.

“Besok malamnya sama besok malamnya lagi aku balik ke sini nyariin kamu, tapi kamu nggak ada.”

“Anaknya Nenek Ima sudah sehat, jadi aku nggak bantuin lagi.”

“Nenek Ima siapa?” tanya Kenan.

“Tetangga, waktu kecil dia yang ngurusin Dhan.”

Kenan mengangguk-angguk mengerti. “Sejak kapan kamu pakai hijab?"

Nada tersenyum simpul mendengarkan pertanyaan Kenan. "Sudah mau tujuh tahun," ujarnya.

“Bunda makin cantik, kok, kalau kayak gini. Dhan suka,” celetuk Dhan membuat Nada memeluknya kemudian mengecup pelipis.

“Bilang aja Dhan suka gara-gara si doi berhijab juga,” cetus bundanya. Ia langsung salah tingkah. “Benar, ‘kan?”

“Apaan, sih, Bun,” kilahnya. “Nggak bener itu. Si Rian bohong.”

Kenan mengacak rambutnya, membuat ia mendelik. Pria itu sama sekali tak peduli. “Jadi anak Ayah sudah mulai suka-sukaan?”

Dhan berdecak, ia melirik ke arah Kenan. Ingin sekali ia mencakar wajah pria itu yang sok akrab padanya. “Kapan kita pulang? Capek, nih,” keluhnya.

“Namanya Khanza.” Bunda menepis permintaannya.

“Kamu nggak mau kenalin ke Ayah?” Kenan menatap Dhan yang telah mencebikkan bibir tak suka dengan topik yang mereka angkat.

“Jangankan, kamu. Aku aja belum pernah dikenalin,” Timpal Nada.

“Serius?” Kenan tertawa geli. “Anak Ayah payah, nih,” Ejeknya.

Directions of Love #1 (END) ✓Where stories live. Discover now