09. Strategi (1)

1.7K 160 42
                                    

Hari libur memang sangat nyaman untuk tidur lebih lama setelah lima hari selalu bangun pagi untuk sekolah. Dan Aldan menikmati masa liburnya. Tidak ada yang lebih nikmat dibanding kencan dengan ranjangnya sendiri. Bahkan Shira sudah membangunkan anaknya dua kali: Pertama, saat sarapan; kedua, saat dirinya dan Gio ingin pergi untuk membeli kebutuhan bulanan.

Semenjak mereka balik, Shira memang menyuruh pembantunya itu untuk membersihkan rumah saja. Untuk urusan memasak biar dia sendiri yang melakukannya. Rindu melakukan pekerjaan rumah, katanya.

Sebelum pergi ke supermarket, Shira memesan kepada anak sulungnya itu untuk membangunkan Aldan jika sampai pukul 12 siang belum bangun juga. Fabian manut, dan dia punya sejuta cara licik untuk membangunkan adik tersayang.

Seperti kata Shira, saat ini sudah pukul 12.21, dan Fabian bergegas ke kamar Aldan. Begitu masuk, rasanya Fabian ingin membacakan Ya-sin untuk adiknya. Mungkin saja dia sudah mati. Posisi tidurnya tidak berubah sama sekali.

"Anak monyet, bangun lo!" Fabian tahu, bahkan sangat tahu kalau Aldan tidak akan bangun jika hanya diteriakan seperti itu. Fabian mendekati ranjang Aldan, lalu menduduki perut adiknya itu. Lihat, bahkan Aldan tidak terusik sama sekali.

Astaga, mimpi apa adiknya itu sampai senyenyak ini tidur?

Mungkin saja Aldan bermimpi kotor. Membayangkannya membuat Fabian menyeringai. Mengerjai adiknya itu lebih seru daripada apa pun. Apalagi jika Aldan sampai terpancing emosi, mungkin Fabian akan mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakannya.

Jemari Fabian menekan hidung Aldan hingga kesulitan bernapas. Mungkin di dalam mimpinya Aldan sedang diberi napas buatan, buktinya saja dia membuka mulut dan bernapas dari sana. Mungkin Fabian sudah gila, idenya itu benar-benar membuat orang yang melihat pasti menggeleng tidak percaya. Dia membukam mulut Aldan dengan celana dalam, entah milik siapa.

Aldan gelisah dalam tidurnya, mencoba menggapai sesuatu. Perutnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menindih. Dia tidak bisa bernapas. Kakinya bergerak ke mana pun. Fabian masih setia menutupi hidung dan mulut Aldan.

Begitu matanya terbuka, Fabian mengangkat kedua tangan dan meletakkannya di belakang kepala. "Udah bangun?"

Tatapan Aldan nyalang, lalu dia membuang sumpalan di mulutnya. "Lo ngapain di sini, sialan!"

Fabian nyengir, tangannya menyubit kedua pipi Aldan. "Utululu, adikku. Gue di sini, ya, banguni elo lah."

Nyawa Aldan belum terkumpul. Setelah beberapa menit, beban berat di perutnya baru terasa. "Turun lo dari perut gue!"

"Kalau gue nggak mau, gimana?"

Dengan cepat Aldan membalikan keadaan, dia di atas Fabian sekarang. Tangannya mengambil bantal dan menutup wajah Fabian dengan dengan benda itu.

Fabian meraung-raung tidak jelas. Suaranya terendam karena tertutup bantal. Dan Aldan sama sekali tidak berniat melepaskan. Inikah yang dinamakan karma?

"Mati lo!"

Tangannya mengapai udara, mencari-cari tangan Aldan. Dapat! Tanpa banyak pikir, Fabian langsung mencakarnya.

Meringis, tetapi tetap tidak melepaskan Fabian. "Nggak mempan!"

Ketika pasokan udara benar-benar minim, pergerakan Fabian pun mulai berkurang. Tangannya tidak lagi menggapai-gapai sesuatu. Aldan panik. Fabian pingsan? Atau lebih parahnya lagi, mati?

Dia melempar bantalnya ke segala arah. "Anjing, lo mati beneran?!"

Telunjuknya menyentuh lubang hidung kakaknya. Masih bernapas. Aldan menghela napas lega. Ternyata Fabian hanya pingsan. Sedikit kelewatan, memang, tapi Aldan sama sekali tidak menyesal. Begitu kakinya menyentuh lantai, Aldan terkesiap begitu tubuhnya terbanting ke ranjang, dengan Fabian yang menduduki perutnya.

Double A [BXB STORIES]Where stories live. Discover now