14. Lagi?

97 17 5
                                    

Jika saja dia tidak pulang larut malam, bahkan dini hari. Jika saja Karina tidak menunggunya di sofa ruang tamu. Jika saja dia tetap tetap tinggal di apartemen Ghana. Mungkin saat ini dia tidak berada di sekolah. Duduk di ruang guru, mengikuti ulangan susulan yang ia lewati kemarin.

Alvan menguap. Soal dengan banyak angka dan huruf A-Z dihadapannya seperti sihir yang menyuruhnya untuk terlelap. Dia bahkan belum mengisi satu pun soal di lembar jawaban. Alvan mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Alvan, waktumu tinggal tiga puluh menit!"

"Pak, saya minta keringanan," ucap Alvan. Kedua telapak tangannya mengatup. Dia membuat raut menyedihkan supaya Pak Rahmat memberi belas kasih.

"Tidak!"

"Saya nggak bisa jawab sama sekali, Pak."

"Siapa suruh kamu tidak memperhatikan saat saya memberi penjelasan!"

Alvan menggigit bibir bawahnya. Tatapannya terlihat mengenaskan saat ini. Karena bagaimana pun lembar soal dan jawaban dihadapannya sama sekali tidak bisa terisi. Otak Alvan buntu. Bahkan satu tambah satu pun mungkin dia tidak bisa menjawab, dengan keadan saat ini

Guru Matematika itu memijit keningnya. Mengurus satu murid seperti Alvan benar-benar di luar kendali. Bahkan mereka harus menyiapkan diri untuk ujian kenaikan kelas. Apa murid satunya ini sama sekali tidak memikirkannya?

"Silakan kamu keluar!"

Kedua bola matanya berbinar. "Serius, Pak?" Karena perintah seperti itu sudah sangat Alvan syukuri karena dia tidak akan berkutat lagi dengan soal Matematika tersebut.

"Saya peringatkan kamu, Alvan. Ini yang terakhir. Sekarang silakan kamu keluar!"

Alvan mengangguk semangat. Yang terpenting saat ini adalah keluar dari ruangan neraka. "Saya janji!"

"Saya sudah sering mendengarnya, Alvan."

Alvan terkekeh, dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Saya harap kamu bisa fokus untuk ujian kenaikan kelas nanti."

Alvan menggangguk. "Saya janji, Pak!"

"Ya-ya, terserah. Silahkan kamu keluar."

"Siap, Pak!"

Tidak perlu waktu lama untuk Alvan meninggalkan ruang guru. Sebelum benar-benar keluar, ia sempat melihat gurunya itu menghela napas kasar. Kasian juga, pikirnya. Namun, mau bagaimana pun ia memang tidak bisa mengerjakannya. Untuk ujian kenaikan kelas pun Alvan tidak ingin memikirkannya. Mungkin belum.

Sembari menunggu bel istirahat, Alvan berencana berdiam diri di kantin sambil menunggu Daffa atau Setyo. Sedikit menikmati suasana yang tenang di sekolah. Jarang-jarang bisa mendapatkan suasana seperti ini--

"Anjing." Alvan menoleh begitu dirinya ditabrak dari belakang oleh seorang siswa. Yang menabraknya hanya terkekeh seperti orang idiot, begitu menurut Alvan "Anak kelas satu? Oh atau jongos baru?"

"Lho, kok sewot?"

"Lo ngapain nabrak gue? Jalanan masih luas, Bos."

Lelaki di depannya terkekeh kembali. Sumpah, Alvan ingin meninjunya saat ini juga jika bukan di area sekolah. "Gimana, Ka, rasanya jadi anak haram?"

Cukup satu kepalan untuk Alvan memukul kepala siswa ini. Persetan jika masih di area sekolah, karena untuk orang yang suka ikut campur permasalahannya tanpa tahu apa-apa itu lebih hina dari apa pun. Siswa itu terkekeh ke-tiga kalinya. Alvan benar-benar benci orang idiot.

"Gue heran, deh." Alvan menarik kerah lelaki itu. "Kalian itu dibayar berapa buat ngusik gue? Ha?"

Lelaki itu kini menyeringai. "Berapa pun. Bahkan lebih tinggi dari bayaran atas tubuh lo."

Double A [BXB STORIES]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang