[19] In The Other Side

8.7K 770 44
                                    

PERASAAN yang sedang berbunga-bunga membangkitkan semangat Adel untuk pergi ke sekolah lebih awal. Pukul setengah enam, Adel sudah berdiri manis di halte dekat rumah menunggu angkutan umum. Senyum menjadi penghias di wajahnya yang terlampau cerah.

Saking cerahnya, yang di rumah terheran-heran melihat tingkahnya. Ferris lebih kentara herannya melihat adik perempuannya itu sudah berpamitan di waktu dia masih membuatkan sarapan. Sedangkan Farrel, si bungsu itu bahkan baru keluar dari kamarnya dengan mata setengah terbuka, mungkin sudah lupa dengan kejadian kemarin.

Jatuh cinta itu aneh. Kau bisa melihat orang yang sedang mengidapnya bertingkah tidak seperti biasanya.

Di dalam kepalanya pun Adel sudah merencanakan banyak hal di hari ini. Mengikuti jam belajar semestinya hingga akhir, lalu pergi ke rumah lelaki itu, membuat nasi goreng kesukaan lelaki itu jika perlu, lalu bersenang-senang dengannya sampai sore. Ya, setidaknya Adel harus tahu waktu jika tidak mau kakak sulungnya curiga.

Aah, membayangkan Abiandra saja sudah membuat Adel bersemangat. Andai waktu bisa dipercepat sampai jam pulang sekolah.

Segera Adel menumbuk fokus pada mobil angkutan di kejauhan. Ia semakin menegakkan tubuhnya dan nyaris melambaikan tangan demi menghentikan mobil berwarna merah itu kala sebuah motor berbadan besar meliuk mendahului dengan kecepatan tinggi lalu berhenti tepat di hadapannya dalam waktu sekejap. Adel hampir terjungkal karena saking kagetnya melihat si pengendara motor membuka kaca helm yang menutupi wajahnya.

“Andra?!” memekik spontan disertai mata melotot, Adel berhasil membuat lelaki itu mengembangkan senyum.

“Naik!” Andra mengedikkan kepala, menunjuk nonverbal ke belakang namun ia justru harus berdecak melihat Adel hanya melongo bodoh padanya. “Naik, Adel, ntar keburu macet!” ulangnya dan kali ini sambil menarik Adel mendekat.

Gadis itu agak terhuyung sejenak, mengerjap beberapa kali dan baru sadar sepenuhnya kala Andra memasangkan helm di kepalanya, menurut saja pada Andra yang membantunya duduk di jok belakang.

“Pegangan.” Andra menoleh sekali lagi, menutup kembali kaca helmnya setelah merasakan tangan-tangan itu meremas kuat bagian pinggang jaket denimnya, melajukan motornya dengan kecepatan mulus.

Bibir kecilnya perlahan tertarik ke atas, menciptakan ulasan manis nan cerah sebagai bentuk akan bagaimana jantungnya berdebar-debar saat ini. Padahal, Adel sungguh tidak menyukai posisinya di boncengan motor besar, tapi karena Andra yang mengendarai dan memboncenginya, mengingatkan bahwa Adel bisa memandangi punggung yang selama ini dikaguminya, bahkan ia memiliki kesempatan untuk bisa memeluknya.

Bertambah satu lagi kebahagiaan hati Adel di hari ini.

...

Jika biasanya Adel akan membutuhkan waktu hampir setengah jam lamanya perjalanan ke sekolah, kini hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan motor besar Andra. Kondisi sekolah masihlah sepi mengingat waktu masih terlalu pagi, memudahkan Andra untuk menghentikan motornya tepat di seberang gerbang utama sekolah. Buru-buru Adel melompat turun hingga sedikit mengejutkan lelaki itu.

“Jangan asal turun, lo bisa jatuh,” tegur Andra sambil mematikan mesin motor.

Adel cuma nyengir. “Mau cepet-cepet mastiin kalau yang habis nganterin gue beneran Andra. Hehehe!”

Andra mendengus geli. Ia melepas helmnya, menggeleng sebentar hanya agar rambutnya yang sempat mengempis menjadi berantakan, apalagi satu tangannya ikut andil. Adel tidak melewatkan momen itu tentunya.

Ya ampun, begitu doang aja Andra udah cakep. Ih, jadi pengen pegang rambutnya, gimana rasanya, ya? Nah, batin Adel mulai meracau tidak jelas.

Two People - Nerd and InnocentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang