[14] Chance

8.7K 787 27
                                    

FERRIS membenarkan selimut yang dikenakan Adel hingga menutupi batas dada. Sepasang mata teduhnya menatap sendu sang adik yang sudah terlelap dengan tenangnya setelah kejadian yang menimpa satu jam lalu. Ferris sudah melepaskan alat hirup untuk Adel setelah memastikan adiknya itu bernapas dengan tenang.

Dia tidak pernah berniat untuk membuat adiknya kambuh akibat ulahnya. Ferris hanya ingin Adel mengerti bahwa ia menginginkan keamanan untuk Adel. Dia hanya ingin melindungi adiknya, namun dia tidak menyadari sudah sampai berani berbuat kasar seperti tadi.

Ferris bukanlah pribadi yang mudah marah. Dia sudah sering menghadapi sifat Adel yang manja dan sering merengek jika tidak mendapatkan keinginannya, juga sering menghadapi sifat Farrel yang sering jahil, cerewet, hingga kenakalan khas remaja lelaki kebanyakan.

“Maafin Kakak...” entah sudah kali keberapa Ferris berucap demikian. Rasa bersalahnya terlalu besar untuk sang adik kali ini. “Kakak harap kamu nggak benci sama Kakak setelah ini. Kakak cuma terlalu khawatir sama kamu,” lirihnya sedih. Ia membungkukkan tubuhnya demi memberikan kecupan hangat di kening adiknya, sebelum berbisik, “Kakak sayang sama kamu, Adel,” sambil mengusap kepala adiknya penuh hati-hati.

Matanya kemudian beralih pada benda yang tergeletak di dekat kaki tempat tidur Adel. Diraihnya tas berwarna biru itu setelah memeriksa sekali lagi kondisi Adel, merogoh isinya pelan hingga menemukan benda yang dicarinya.

Menyalakan ponsel Adel dan mulai mengutak-atik isinya.

****

Gadis itu mulai menggeliat di tempat tidurnya dan perlahan membuka kelopak mata, langsung dihadapkan dengan jendela kamar yang masih terhalang tirai, namun sudah menampakkan semburat bias terang di balik sana seolah menunggu untuk masuk. Menyadarkannya untuk segera mendudukkan diri.

Segera saja matanya bergerak mencari-cari, menemukan ponselnya di atas nakas, menyalakan layarnya lalu mata sayunya melebar begitu melihat waktu menunjukkan pukul tujuh pagi.

Ya ampun, Adel terlambat ke sekolah!

Adel yang panik sudah menyibakkan selimutnya dan hendak turun dari tempat tidur ketika pintu kamarnya terbuka. Niatnya mendadak surut begitu mendapati Ferris adalah orang yang masuk ke kamarnya dalam keadaan siap berangkat bekerja, memberikan senyum hangat yang membuat Adel merasa canggung. Dia masih ingat kejadian kemarin malam. Takut-takut kalau saja kakak sulungnya akan kembali meneriakinya.

“Gimana kabar kamu, Del?” Ferris bertanya dengan suara lembutnya, menghampiri adiknya yang menunduk tanpa ada niatan menjawab sapaannya di pagi ini.

Adel lebih mematut dirinya yang ternyata masih mengenakan seragam sekolah meski sudah tidak serapi kemarin. Kemejanya yang sudah keluar dari rok, ikat pinggang juga dasi yang sudah terlepas, dan kancing teratas yang sudah terbuka hingga ia tidak merasa tercekik.

Ferris sendiri menjadi ragu untuk mendekati adiknya meski ia sudah berhasil duduk di dekat sang adik. Seperti ada jarak yang memisahkan.

“Kakak sengaja nggak bangunin kamu pagi-pagi tadi. Hari ini kamu nggak usah masuk sekolah dulu, ya. Istirahat aja di rumah.”

“Adel mau sekolah...”

Suara serak milik Adel sedikit membuat Ferris menahan napas. Haruskah dia kembali menentang atau memenuhi keinginan adiknya? Ferris menjadi takut jika seandainya keputusannya kembali membuat adiknya kecewa.

Two People - Nerd and InnocentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang