Dengan cepat Adhira menaruh mangkuk es krimnya di meja, dan kemudian mengusap ikon berwarna hijau di layar ponselnya ke kanan, dan menempelkannya pada telinga kiri. "Halo, siang Mas."

Tepat setelah Adhira mengucap salam, orang yang meneleponnya tersebut juga membalas salamnya, lalu segera melanjutkan kalimatnya. "Dek, mas hari ini gak bisa antar kamu pulang, tiba-tiba ada rapat dewan direksi, dan mas harus ikut. Nggak apa-apa kan?"

"Oh, iya Mas nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri kok nanti," jawab Adhira santai.

"Mas minta maaf ya, beberapa hari ini karena ada pergantian CEO mas sibuk banget, nggak punya banyak waktu buat kamu," ucap orang itu lagi.

Adhira tertawa pelan, kemudian menimpali, "Mas, aku ngerti kok. Aku kan kerja di kantor yang sama, aku juga ngerasain gimana sibuknya kantor beberapa minggu ini."

"Ya sudah. Apa Mas perlu minta Rendra nganter kamu lagi?"

"Jangan mas. Mas Rendra juga kayaknya sibuk banget hari ini. Aku pulang sendiri aja, kebetulan nanti aku mau ketemu sama Rachel dulu sebelum pulang."

"Oke kalau begitu. Hati-hati ya. Lain kali mas pasti antar. Sudah dulu ya, dah."

"Iya Mas, dah." Adhira kembali menaruh ponselnya di atas meja, mengambil mangkuk es krim yang isinya sekarang mulai mencair, dan kembali menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya yang terbuat dari busa empuk dilapis bahan kulit.

Adhira memang sangat santai hari ini. Di saat teman-temannya sibuk mengerjakan laporan dan bahkan tidak punya waktu satu detik pun untuk mengangkat kepala mereka menjauh dari layar laptop, dirinya kini hanya mengerjakan tugas biasa sambil menikmati es krim.

Bukan karena Rendra memberinya tugas yang mudah dan sedikit, tapi Adhira sudah menyelesaikannya malam tadi, dan laporannya tidak perlu direvisi lagi. Buah dari kerja lemburnya dua hari ke belakang, Adhira kini bisa mengerjakan tugas hariannya tanpa takut dikejar deadline.

"Pak Arian ya?" tanya seorang wanita seumurannya yang duduk di meja tepat di depan mejanya. Wajahnya terlihat kusam, mungkin karena jenuh mengerjakan tugas yang menumpuk. Namun sejauh yang Adhira tahu, wanita itu memang selalu terlihat masam setiap kali mengobrol dengannya. Namanya Luna, dan Adhira tidak begitu menyukai orang itu, sudah tentu karena sikapnya yang terang-terangan tidak menyukai Adhira. Adhira melihat wajah orang itu, berusaha tersenyum dan mengangguk.

Luna kembali menundukkan wajahnya, menekuri laptop di depan wajahnya, tanpa sedikit pun menghilangkan raut wajah masam dari mukanya. Adhira tidak ambil pusing dan melanjutkan kembali memakan es krimnya.

"Dhir, sini sebentar!" panggil seseorang dari belakangnya setengah berbisik, sambil melambai-lambaikan tangannya. Adhira menoleh, dan menghampiri Ezra, pria yang memanggilnya barusan.

"Kenapa Za?"

"Gue bilangin ya, lu mending hati-hati sama si Luna. Dari sebelum lu kerja di sini, dia sudah ngejar-ngejar Pak Arian," jelas Ezra setengah berbisik, sambil matanya waspada menatap Luna, takut orang yang bersangkutan mendengar apa yang sedang ia bicarakan.

"Oh ya? Kok gue baru tahu ya?" ucap Adhira sedikit terkejut.

"Lu aja kurang peka Dhir," timpal Ezra sambil tertawa.

"Dasar bigos lu ya." Adhira juga ikut tertawa dan berjalan kembali ke tempat duduknya. Ketika ia menempatkan dirinya dengan nyaman di kursi kulitnya, matanya menatap sebentar ke arah Luna yang masih sibuk bekerja di depan laptop. Sulit dipercaya bahwa Luna ternyata selama ini mengejar-ngejar pacarnya, namun setidaknya Adhira sekarang tahu alasan mengapa Luna selalu memasang wajah masam setiap kali bertemu dengannya.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now