2 - Digantikan

133 9 2
                                    

Matahari terbangun, berganti tugas dengan rembulan yang menyinari semalam. Suara dentingan sendok dan cangkir terdengar menggema pelan dari dapur. Jananta sudah sibuk sepagi ini untuk melakukan rutinitasnya; membuatkan teh panas kesukaan adiknya dan secangkir kopi hitam untuknya. Setelah selesai, ia menghampiri kamar adiknya dan mengetuk pintunya pelan.

Tok tok tok. "Shanin, ayo sarapan." Ujarnya. Terdengar suara langkah kaki dari dalam, dan setelahnya Shanin membuka pintu. "Yuk. Teh buat aku udah 'kan, Bang?" tanyanya dengan wajah penuh semangat. 

Jananta tersenyum melihat ekspresi adiknya itu, lalu mengusak rambut Shanin pelan. "Udah. Gih, duluan." Ucapnya. "Abang ke kamar dulu, bentar."

Shanin mengangguk sementara kakak laki-lakinya itu berjalan menuju kamarnya. Mengambil tas ransel dan kacamata yang semalam ia letakkan diatas nakas.

"Ada kelas pagi, Bang?" Tanya Shanin saat Jananta kembali ke ruang makan dengan membawa tas ranselnya. Lelaki itu kemudian menduduki kursi yang berhadapan dengan Shanin.

Ya, hanya dua kursi di meja makan rumah itu. Karena tak ada penghuni lain selain Jananta dan adiknya, Shanindita. Sebenarnya ada, tapi dulu. Saat orangtua mereka belum meninggal dunia. Dulu ada empat kursi dalam satu set meja makan itu. Tetapi setelah kepergian orangtua mereka, Shanin meminta kakak laki-lakinya itu untuk memindahkan dua kursi yang lain.

Ditinggalkan kedua orangtua di umur yang masih sangat belia, tepatnya saat masih berumur sepuluh tahun tentu membuat Shanin benar-benar shock saat itu. Ia merasa menjadi seseorang yang paling menyedihkan sedunia, karena sudah tak memiliki kedua orangtua saat usianya masih sangat kecil.

Tapi Shanin beruntung, karena memiliki kakak laki-laki yang selalu ada untuknya. Yang bisa menjadi tempatnya bersandar kapanpun ia merindukan pundak Ayahnya. Yang bisa memeluk hangat tubuhnya kapanpun ia merindukan pelukan sang Bunda.

Shanin beruntung memiliki Jananta.

"Iya, sekalian jemput Keana." Jananta menyahut, lalu mengenakan kacamatanya, menunggu Shanin memberi roti tawar yang tengah ia oleskan selai padanya. "Pagi ini dia ada UKM dan katanya bokapnya nggak bisa nganter."

Ekspresi wajah Shanin seketika berubah saat mendengar nama itu.
Keana.

Roti yang ia oleskan selai diletakkannya begitu saja diatas piring kecil. Setelah menyodorkan piring itu kedepan Jananta, Shanin menyeruput teh panasnya dengan cepat.

"Eh, kenapa sih? Pelan-pelan minumnya." Jananta mengernyit, lalu mengambil roti selai cokelat itu dan memakannya.

"Ngapain sih Bang, pake jemput-jemput segala?" Shanin menelan tehnya lalu mengomel. "Emang Abang tukang ojeknya Keana apa?!"

Jananta hampir saja tersedak rotinya jika ia tak segera meneguk air mineral yang untungnya selalu ia siapkan di atas meja makan. "Loh, kok jadi ngaco sih ngomongnya? Abang nggak suka deh kamu ngerusak suasana gini."

"Harusnya Shanin yang ngomong gitu." Shanin mencebikkan bibirnya kesal. "Shanin nggak suka liat Abang dimanfaatin mulu sama Keana!"

"Shanin, apa-apaan sih?" Jananta berdiri dari kursinya. "Jangan kekanak-kanakan kayak gini. Kamu punya masalah apa sama Keana? Dari dulu Abang selalu nanya soal itu, tapi kamu nggak pernah jawab."

"Bang-"

"Udahlah, Nin. Abang nanya berapa kalipun juga kamu nggak bakal jawab, 'kan?" Jananta memakai tas ranselnya lalu mengambil ponselnya untuk membalas LINE Keana.

J. Ivander: gue otw rumah lo, ya. Gue sampe langsung jalan, gak pake lama.

"Udah ya, Abang berangkat dulu. Kamu libur 'kan? Hati-hati dirumah."
Jananta melangkah cepat keluar rumahnya setelah meneguk kopinya habis sambil berdiri. Terdengar suara deru gas motor sebelum lelaki itu benar-benar menghilang.

LatibuleWhere stories live. Discover now