71 (TAMAT)

2.4K 43 4
                                    

Ketika gadis itu merasa sejuk ada orang-orang yang masih mau mendekatinya, penuh sayang dan perhatian maka Yu Yin melepaskan ibu Han Han dan duduk lagi dengan baik. Kini ia diapit Tang Siu dan nyonya itu, Ju-taihiap telah kembali duduk di tempatnya.

"Kami datang atas dua hal," Yang Im Cinjin mulai bicara, menarik napas dalam. "Pertama adalah melihat murid-murid kami yang bertaut jodoh sedangkan yang kedua adalah mengantar sesuatu dari Bu-beng Sian-su, guru dari Ju-taihiap."

"Hm, Sian-su tak mau kuanggap guru," ketua Hek-yan-pang menggeleng dan membenarkan. "Kakek dewa itu menganggap setiap orang dapat menjadi guru bagi dirinya sendiri, totiang. Ia aneh dan tak mau kusebut suhu (guru)!"

"Benar, tapi kau telah mempelajari beberapa ilmu-ilmunya. Meskipun ia tak mau disebut guru tapi taihiap tentu akan tetap menganggapnya demikian. Orang yang rendah hati selamanya begitu!"

"Dan pinto baru kali itu pula bertemu dengannya. Aihh, ia hebat benar!" Kim-sim Tojin, guru dari Tang Siu berseru kagum, menyambung. "Pinto ingin bertemu lagi, taihiap. Sayang, ia pergi dan kesempatan bicara belum pinto dapatkan lagi!"

"Hm, apa yang ia bawa," ketua Hek-yan-pang tertarik, wajahnya berseri. "Oleh-oleh apa yang hendak diberikan kepada kami, totiang. Bolehkah kami tahu!"

"Tentu, tapi sebenarnya ini khusus buat pemuda itu, juga gadis itu. Hanya kalian semua boleh tahu dan biarlah sekarang kubuka," Yang Im Cinjin merogoh saku bajunya, memandang ke arah Giam Liong dan Yu Yin karena dua orang itulah yang dimaksud, terutama Giam Liong.

Dan karena Han Han kini juga beringsut dan duduk di dekat Giam Liong, menemani pemuda itu terharu oleh kebuntungannya maka Yang Im Cinjin menyerahkan secarik kertas kepada Giam Liong, diterima dengan tenang-tenang saja meskipun sebenarnya Giam Liong berdetak.

"Dari Sian-su, locianpwe? Untuk aku?"

"Begitu katanya, dan nanti dua tiga hari lagi kakek itu datang kepadamu."

"Terima kasih, surat apakah ini." Giam Liong membuka, menjentik dan tertegun karena surat yang diterimanya itu tidaklah berisi apa-apa.

Isinya hanya tiga baris syair dan tentu saja dia berkerut kening. Isi syair itu bicara tentang dendam. Dia terkejut! Namun karena dia tidak mengerti apa arti pemberian ini dan kemana kakek itu hendak membawanya, Giam Liong belum berjumpa si kakek dewa maka dia mengangkat mukanya memandang Yang Im Cinjin. Sorot matanya memancarkan keheranan.

"Aku tak melihat apa-apa. Surat ini hanya berisi sebuah syair. Apa maksudnya dan apakah locianpwe tahu."

"Hm, inti ceritanya adalah dendam. Dan jelas yang dituju adalah kau. Pinto belum jelas kemana kakek itu membawamu, Giam Liong. Dan agaknya kau harus berhadapan sendiri dengan kakek itu."

"Syair apakah," nyonya rumah tiba-tiba bertanya, teringat bahwa duapuluh tahun yang lalu Bu-beng Sian-su juga pernah memberi syair kepada mereka. "Bolehkah aku tahu dan apakah isinya!"

"Silahkan," Giam Liong mengangguk dan memberikan itu. Han Han sekilas telah membacanya. "Isinya menyeramkan aku, bibi. Aku tak mengerti tapi agaknya memang aku yang dituju."

"Hm," alis nyonya itu segera berkerut, matanya bersinar-sinar. "Sama seperti kita dulu, suamiku. Sebuah pelajaran yang tentu penting!"

"Apakah itu," Beng Tan tertarik dan bersinar-sinar pula. "Dapatkah kau baca dan biar kudengar."

"Aku agak ngeri. Biar Giam Liong saja yang membaca!"

"Atau aku saja," Yu Yin berseru dan tak tahan ingin tahu pula. "Tadinya katanya untuk aku dan Giam Liong, bibi. Biar kulihat dan kubaca!"

Swi Cu mengangguk. Ia menyerahkan dan membiarkan Yu Yin membaca. Dan ketika gadis itu membaca namun masih di dalam hati, belum bersuara maka Ju-taihiap berseru dan tak sabar. Semua kini telah melihat dan mengetahui.

Naga Pembunuh - BataraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang