Hausku Akan Darah Membangkitkanku

111 12 0
                                    

Kedalaman jiwa manusia tidak dapat diukur dengan sopan santun, pendapatku, hanya dapat diukur olehnya dekat dengan surga dan neraka. Langkah ku yang tidak kusadari telah mengantarku melewati kedai minuman di kota. Penuh sesak dengan suara tawa dan bermain piano. Itu hanya sudah di malam yang berbeda, di tempat yang berbeda, atau orang yang berbeda dengan memegang botol minuman. Aku bisa membayangkan ketika mereka berseru untuk minuman mereka, ketika seruan kegembiraan yang menjadi teriakan putus asa tak berdaya dan permohonan mereka agar untuk tetap hidup.

Aku kait pintu kayu dikedai itu dengan palu, dan berjalan santai menuju bar. Mataku menatap tajam sekitar memastikan kalau tidak ada orang yang melihatku ketika aku mengunci pintu disaat aku akan masuk. Tampaknya setiap warga yang hadir disini sedang menikmati malam mereka. Mendengar perbincangan keras yang tidak dapat di bedakan yang tersandung keluar dari masing-masing mulut di dalam ruangan. Aku memesan wiski, tetapi hanya jariku saja yang melacak menjangkau pisau yang tergeletak dimeja bar.

"Ada berapa, tujuh?"
"Apa angka keberuntungan?"
"Tujuh? Oh ya, tujuh!!"

Menghitung dengan akurat pada setiap yang hadir. Aku selalu bertanya-tanya mengapa angka itu dianggap sebagai pembawa keberuntungan. Mungkin hal itu sudah diperdagangkan dari satu agama ke agama lain selama bertahun-tahun, atau mungkin itu tanggal kembalinya semua jalan ke kalender matahari maya. Disisi lain aku hampir tertawa terbahak-bahak, bagaimana bisa angka tujuh ini bisa berada di kedai minuman pada malam khusus seperti ini. Dengan begitu aku bangkit dari kursiku, dengan tenang aku berjalan menghampiri orang yang sudah kupilih untuk menjadi yang pertama. Kekasih pertama. Tetapi sebenarnya bukan pertama dari apa yang sudah kubunuh. Oh tidak. Perbedaan milik Annabel.

Aku bisa merasakan kesemutan di tubuhku sebagai jiwa malang yang berbingkai merah. Mata mencoba untuk fokus pada sosok yang sekarang sudah berdiri di hadapanku. Bajingan tampaknya berada di titik puncak pembukaan mulutnya dan mempertanyakanku seperti suatu bisnis. Masa bodoh apa yang mereka ucapkan, yang aku rasakan hanyalah...

"Rasa hausku akan darah mengubahku!".

Tanpa basa-basi dengan cepat aku menghunuskan pisau dan...

"Slash!" ke tenggorokannya dengan keganasan sampai berputar penuh seratus delapan puluh derajat terjatuh dilantai kayu.

"Ini masih belum cukup"
"Tampaknya aku akan semakin gila!"

Satu demi satu, tujuh yang beruntung telah jatuh. Tidak ada lagi yang tersisa. Suara terakhir yang aku dengar hanyalah suara jeritan dan melodi piano yang kini telah menjadi not penuh dengan darah. Kejahatan yang terjadi pada mereka hanya untuk mereka saja yang tersandung di dalam kedai tengah malam ini.

"Haruskah aku benar-benar melakukan ini?".

Orang-orang ini mati tidak bersalah, padahal sebelumnya mereka tidak terkait dengan masalahku sehingga mereka harus menerima hukuman ini. Rasanya, seperti Tuhan yang datang dan membuat ini semua menjadi kacau berantakan. Setelah semuanya, aku kembali untuk wiski ku. Annabel, sayangku, aku akan gila tanpamu.

Didapur aku akan menyadari jika aku tidak pernah memiringkan kepalaku untuk tetesan terakhir dari wiski yang murah ini, aku melihat sekilas orang yang telah mengetahui segala sesuatu, karena ia melarikan diri diam-diam dari balkon.

Didapur aku akan menyadari jika aku tidak pernah memiringkan kepalaku untuk tetesan terakhir dari wiski yang murah ini, aku melihat sekilas orang yang telah mengetahui segala sesuatu, karena ia melarikan diri diam-diam dari balkon

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
The Emptiness (Berakhir)Where stories live. Discover now