CHANA DAN LANG

Mulai dari awal
                                    

Bruk! Dirinya terpantuk bertabrakan dengan seseorang hingga orang yang menabraknya itu terpental ke belakang. Lang dengan segera menarik orang yang menabraknya itu.
"Chana..", reflek Lang begitu melihat wajah yang menabraknya.
"Lang..".
Lang membantu Chana berdiri lalu memperhatikan Chana dari kepala hingga ujung kaki. Chana sengaja berpakaian seperti laki-laki ketika ia berjalan-jalan ke pasar. Hal itu ia lakukan juga agar banyak orang yang meminta jasanya untuk menggandakan buku. Di zaman seperti itu, kaum perempuan benar-benar seperti tidak ada harganya. Pernah suatu saat, Chana menjajakan dirinya sebagai pengganda dan penjual buku dengan dandanan wanita. Namun bukannya orang ingin membeli, malah banyak pembeli yang mengira dirinya seorang gisaeng. Dari pengalaman itulah, untuk menaikkan minat pembeli dan utnuk melindungi dirinya sendiri Chana memutuskan untuk berpakaian seperti laki-laki.

"Kau... Sedikit berbeda..", gumam Lang menatap Chana.
"Ah kau mungkin baru pertama kali melihatku berpakaian laki-laki seperti ini kan? Ya.. Kau tahu kan kehidupan di pasar memang keras.."
"Tentu aku tahu.."
Mereka terdiam sejenak. Lang tak bisa melepaskan pandangannya dari Chana. Sementara Chana hanya memandang Lang kikuk. Mereka tidak pernah bertmu sejak usia mereka dua belas tahun, dimana Lang waktu itu adalah murid termuda di padepokan istana. Itu sudah lima belas tahun yang lalu, namun di beberapa kesempatan sebetulnya mereka sering bertemu, hanya saja Chana tidak menyadarinya. Termasuk di hari penobatannya menjadi calon Putri Mahkota.

"Kau apa sedang membeli suatu keperluan?", tanya Chana.
"Ya, aku membutuhkan beberapa perbekalan untuk pergi jauh". "Kemana?"
"Sejujurnya aku juga belum punya rencana..."
"Apa kau membutuhkan tempat tinggal baru? Kau bisa tinggal di tempatku..", ucap Chana menawarkan.
Lang sedikit terdiam mendengar penawaran Chana. Sebetulnya ia sungguh merasa terbantu, tapi ia sungkan. Tidak mungkin ia tinggal serumah dengan seorang perempuan. Ia takut khilaf. Selain itu juga bagi orang lain juga sangat merepoti dan tidak sopan apalagi Lang berencana untuk tinggal dalam waktu yang lama.
"Ah aku tidak tinggal sendiri, aku tinggal bersama Paman Gong. Kau tidak perlu merasa khawatir atau sungkan". "Ah, paman gubernur itu?"
Chana menjawabnya dengan senyuman di bibir, bagai bulan sabit yang bersinar cerah di malam tanpa awan yang menutupi. Yah begitulah senyum Chana dimata Lang, akan selalu tetap cantik dan mempesona meski seperti apapun pakaian yang dipakai Chana.

Sore itu seorang tabib mengganti perban luka Kwon yang sudah mulai mengering. Tabib itu harus selalu mengoleskan ramuan dari daun-daun untuk ditutupkan ke luka di lengan Chana agar luka itu lekas mengering. Sudah hampir dua minggu penuh tabib itu mengoleskan dan mengganti perban Chana tiga kali sehari. Betul-betul pelayanan yang istimewa bagi seorang dayang rendahan seperti Kwon. Tak ayal Kwon kini menjadi buah bibir di kalangan para dayang di seluruh istana. Hal itu pula yang membuat Ibu Suri juga terbawa emosi kenapa bisa rencananya untuk membunuh dayang sialan itu bisa gagal. Ditambah lagi sayembara yang memuakkan itu. Kedoknya bisa terbuka jika begini caranya. Tiada hari tanpa mengerutu, itulah rutinitas Ibu Suri setiap harinya setelah pengumuman sayembara itu disebar. Respon masyarakat yang cepat membuat orang suruhannya untuk membunuh Kwon itu selalu mengunjungi kediamannya untuk meminta perlindungan. Seperti sore kala itu. Untuk kesekian kali orang suruhan yang bernama Bongpal itu datang menghadap sang Ibu Suri, selain karna posisinya yang terancam, imbalan yang dijanjikan pun tak kunjung datang.
"Kenapa kau datang lagi di keadaan seperti ini? Apa kau gila?", gertak Ibu Suri yang menemui Bongpal di perpustakaan istana khusus bagi Ibu Suri.
"Maafkan hamba Yang Mulia, tapi keadaan hamba semakin terdesak. Hamba tidak punya pegangan apa-apa lagi selain imbalan yang Yang Mulia janjikan.."
"Imbalan apa maksudmu? Apakah harus aku memberimu imbalan disaat aku juga sama terancamnya sepertimu? Beraninya kau masih menagih imbalanmu padaku!"
"Ampun Yang Mulia. Hamba tidak patut menerima ampunanmu...". "Ah sudahlah. Ini terima imbalanmu. Jangan pernah menginjakkan kakimu di istana lagi dan jangan torehkan wajahmu di hadapanku".

Empress KwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang