Kata-kata itu menusukku hingga air mataku turun begitu saja. "Anda harus tau kalau saya tidak pernah berharap bersanding dengan anak anda. Laki-laki yang tidak pernah berani mengambil keputusan tidak layak untuk saya perjuangkan. Dan saya tegaskan sekali lagi, saya tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Vincent!" tekanku. Tidak lama wanita itu menyiramku dengan air yang ada di sebelahnya.

Aku malu, dipermalukan depan umum seperti ini. Bukankah aku tidak pernah menganggu hubungan mereka, kenapa orang tidak sekaya mereka harus mempermalukanku di depan umum seperti ini.

Tidak lama aku merasakan tanganku di tarik seseorang meninggalkan ruangan ini. Mataku masih meneteskan air mata. Aku bahkan tidak tau siapa yang menarikku keluar dari sini.

Aku masih sibuk menangis, sakit ketika harus merasakan dihina lagi. Dia kira cuma Vincent laki-laki didunia ini? dia kira Vincent seganteng dan sekaya apa sampai-sampai aku harus menganggunya. Mau dia seganteng Taylor Lautner pun jika sudah beristri aku sadar tidak boleh menganggunya.

Ketika aku sadar. Dan melihat laki-laki disebelah ku aku kaget luar biasa. "Bima?" ucapku pelan.

Dia hanya tersenyum dan memelukku erat. "Jangan menangisi hal yang tidak perlu kamu pikirkan. Banyak orang di luar sana yang hanya sibuk dengan pemikirannya sehingga tidak tau kebenarannya."

"Saya tidak seperti yang dia sebutkan. Saya bekerja murni untuk membayar hutang kamu. Kenapa keluarganya selalu menghina dan mempermalukan saya." tangis ku pecah dipelukannya.

Bima menenangkanku, memelukku erat hingga aku merasakan kehangatan dari dirinya.

"Kok kamu ada disini?" tanyaku setelah aku tersadar dari hal menyeramkan itu.

"Saya itu boss besar. Masa acara perusahaan saya tidak hadir?"

Ah ya! aku baru ingat. Bima kan boss besar mana mungkin tidak hadir.

"Jadi kamu kenal sama keluarga Vincent?"

"Jelas kenal. Mereka bekerja untukku Nasz. Keluarga mereka memegang anak perusahaanku 1, kantormu itu."

"Saya mau pulang. Kamu kembali lah ke dalam. Acara itu pasti membutuhkan bossnya."

"Tidak, saya akan ikut pulang denganmu."

"Mana boleh seperti itu. Saya pulang karna baju saya sudah basah. Kalau tidak juga saya masuk lagi."

"Yasudah saya akan membasahkan baju saya juga. Biar tidak usah ke dalam."

"Tidakkah kamu merasa keras kepala?"

"Jadi kita pulang?"

Aku menggandeng tangan Bima memasuki mobil. Kami pulang dengan diam. Aku tau Bima mengerti bahwa perasaanku masih tidak baik.

Sesampainya dirumah perutku tiba-tiba lapar. Jelas saja, aku belum sempat makan mala sudah di ajak perang. Aku segera mengganti bajuku dan pergi memasak.

"Kamu masak apa?" tanya Bima

"Saya masak ayam balado nih. Kamu mau?"

"Mau, saya juga lapar." Aku merasa tidak enak dengan Bima. Karna ingin mengantarku pulang dia jadi tidak makan dan meninggalkan acara itu.

Setelah menyiapkan makanan, Bima makan dengan lahap.

"Saya baru tau kamu bisa masak makanan seperti ini. Saya kira cuma makanan barat saja."

Entah itu sindiran atau pujian yang di berikan.

"Kok tadi kamu bisa menarik saya? Saya saja tidak tau kalau kamu bakal hadir di acara itu."

"Saat saya menyapa direktur cabang di perusahaan minyak, saya melihat kamu di serang oleh keluarga Viko. Dan saya baru tau kalau mantan pacar kamu itu Vincent."

"Jadi kamu kenal Vincent?"

"Jelas, keluarga mereka sudah bekerja dengan perusahaan saya cukup lama. Dan saya baru tau kalau nyonya Tritanu memiliki sikap seperti itu. Karna biasanya dia sangat hangat."

Yaiya hangat jika bertemu dengan orang yang sederajat. Tapi jika bertemu denganku dan orang-orang di bawahnya untuk memberikan senyuma  saja tidak mau. Tapi aku hanya mengangguk mendengarkan penjelasannya.

"Jadi kamu dekat dengan keluarga mereka?"

"Tidak juga. Tapi mereka bekerja untuk saya sudah pasti saya kenal mereka."

"Tapi jika kamu kenal mereka, kenapa waktu kita menikah mereka tidak datang?"

"Viko dan Vincent sedang menangani perusahaanku yang ada di Jepang. Saat kita menikah mereka sekeluarga sedang bekerja sambil berlibur. Jadi mereka tidak datang."

lagi-lagi aku hanya menganggukan kepala. Pembicaraan tentang mereka sudah tidak kami bahas. Aku sudah lelah berurusan dengan mereka yang tidak sama sekali berhati.

Setelah makan kami memutuskan untuk pergi tidur.

***

Every New Step to Make a New JourneyWhere stories live. Discover now