9

6.3K 1.1K 202
                                    

"Boncel, tungguin!"

Ini sudah yang ke-17 kalinya gue menghela napas sejak menapaki kaki keluar kelas. Suara yang sama, orang yang sama, dan tentunya panggilan yang samaㅡboncel. Dari semua aspek yang ada di diri gue, kenapa harus boncel, sih?

Manusia nggak tahu tempat di mana dia berteriak itu berlari menghampiri gue. Dia langsung menubrukkan tubuh dan melingkarkan tangan di leher gue.

"Berisik banget, sih. Nggak usah pakai teriak juga. Telinga gue dua, ya!" Botol air minum yang gue pegang menjadi senjata untuk memukul kepala si gembel yang sekarang meringis pelan. "Dan jangan panggil gue boncel."

Terdapat sinonim dari kata pendek selain boncel yang terdengar lebih bagus. Bisa mungil, cutie, atau kecil. Seenggaknya itu terdengar lebih baik dan mewakilkan gue banget.

"Idih, gue manggil sesuai fakta, kok. Terus mau dipanggil apa?" Dia mencubit dagu gue dan menariknya ke depan. "Berandal? Curut? Atau bantet aja kali, ya?"

"Yeriana, jadi panggil Ana."

Suara ketawa melengking langsung menyambar telinga gue. "Mimpi lo dipanggil Ana."

Plak!

Kenapa malah kepala gue yang ditimpuk pakai buku? Kalau isi bukunya bisa masuk langsung ke otak gue, iya enak. Ini yang ada kepala gue puyeng.

"Lo mah cocoknya Anang. Ana itu panggilan buat orang kalem. Atau kalau nggak, Suzanna baru bener tuh serem kayak lo."

Ini adalah contoh mulut yang belum pernah gue cuci pakai air kobokan Rumah Makan Padang. Untung lo masih gue beri toleransi, Gi.

Iya, ini Egiㅡaktris songong yang minggu lalu mengajak gue damai dengan disaksikan massa kampus. Setelah dia meminta maaf dan rumor pacaran kami tersebar, Egi selalu menempel ke gue seperti eek cicak yang hitam dan putihnya. Awalnya gue biasa aja, toh dia mengajak gue kenalan dengan damai. Tapi ternyata Egi dan gue itu satu fakultas meski beda kelas.

Semenjak itu, dengan berbagai alasan yang nggak jelas, Egi mulai sering mengunjungi kelas gue, mengajak makan siang, dan mengusik gue saat sedang berlajar bareng Mark di perpustakaan pusat. Bahkan kalau pagi-pagi ketemu di gerbang kampus, Egi langsung teriak memanggil gue dengan senyuman lebar yang membuat matanya hilang total.

Egi si sipitㅡpanggilan yang gue buat untuk dia.

Memang ada-ada aja cara konspirasi semesta untuk menjodohkan gue dengan Egi. Banyak banget alasan dia supaya bisa menempel ke gue selama di kampus. Contohnyaㅡ

"Yeriana, temenin gue ke perpus dong mau minjem buku."

"Gue buta arah. Temenin gue ke kantin dong."

"Gue nyamper ke apartemen lo mau ngerjain soal tutor Fisika Dasar, ya?"

"Yeriana, minta drakor. Entar gue traktir cheese cake di Capital."

Kalau itu sudah pasti gue praktis menyahut. "Boleh! Ayo tiap hari juga nggak apa-apa lo ke tempat gue, Gi!"

Nggak apa-apa didekati aktris, soalnya kalau mau mendekati gebetan, nggak bakal peka. Gebetan imajiner maksudnya. Haha. Sial!

Alasan lain Egi suka menempel ke gue adalah karena dia sering digoda anak-anak cowok. Gue dijadikan tameng. Padahal menurut gue biasa aja teman sefakultas iseng-iseng seperti itu. Melempar candaan ringan dengan menggombali Egi menggunakan kalimat ala-ala acara alay TV Indonesia.

Itu loh yang, "Bapak kamu jualan cilok, ya? Soalnya tatapan matamu mencolok-colok hatiku."

Kalau gue jadi Egi, gue colok beneran mata si cowok pakai lidi cilok.

[1] STUNNING [New Version] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang