EPILOGUE

61.4K 5.5K 289
                                    

Malam tahun baru hari itu, membuatnya merasa konyol. Hanya karena permintaan seorang gadis kecil yang bahkan tak ingin ia ketahui namanya, mereka sekeluarga menaiki kereta api. Ayahnya, Ibunya, dirinya dan kedua adiknya.

"Jadi, umurnya baru dua belas tahun?" tanya lelaki bermata biru itu.

"Aeth, mengapa kamu ngomongnya seakan sudah tua, sih?" tegur ibunya yang memangku gadis kecil yang juga bermanik biru. "Kalian kan hanya berbeda empat tahun."

Empat tahun berarti, dia seumuran dengan Aerl, pikir Aeth.

"Mengapa dia tidak sama Aerl saja, sih? Lagipula umur mereka sama."

Aerl melihat Aeth--kakaknya--dengan tatapan tidak senang. Aeth benci dengan kenyataan bahwa dia juga berbagi warna mata yang sama dengan adiknya yang angkuh itu. Aesl juga punya warna bola mata yang sama dengan mereka--semuanya memilikinya kecuali Ibu mereka. Ibunya asli keturunan Indonesia, dan Ayahnya blasteran Jerman-Belanda. Jadi wajar saja kalau mereka punya bola mata seperti itu.

Tapi Aerl diistimewakan...

"Enggak, aku mau nyari sendiri," balas adiknya sombong, seolah tengah mengejek ketidakberdayaan Kakaknya yang terpaut empat tahun darinya.

Apa hebatnya mereka berdua? Hanya bocah SMP satu. Aku seharusnya bisa mencari gadis idamanku, dan tentu saja bukan berhubungan denganku karena keadaan terpaksa seperti ini, pikir lelaki yang berusia enambelas tahun itu. Aeth tidak menyukai apapun yang disangkut pautkan dengan nama belakang keluarganya, karena itu membuat semua orang menyamarkan sifat mereka di belakangnya.

Dan gadis itu juga pasti mengenalnya, kan? Di satu sisi Aeth merasa kesal sekali harus berhubungan dengannya karena masalah koopertif antar perusahaan, tapi di sisi lain, dia mengasihani gadis sekecil itu. Mengapa dia dijadikan sebagai jaminan?

"Aerl masih kecil, jangan mikirin cewek dulu." Aeth memutar bola matanya bosan.

Aerl diam, memperhatikan luar jendela gerbong yang terus bergerak tidak wajar. Suara bising, hampir mirip dengan suara besi yang saling mengikis terasa nyilu dipendengaran. Aeslyn yang terpaut sepuluh tahun dengan Aeth, mulai menangis dalam pelukan Ibunya.

Aeth mulai merasakan sesuatu yang ganjal dari langit-langit gerbong. Seperti ada suara seseorang berjalan di atas langit-langit. Dia memprediksikan bahwa bukan hanya seorang saja di atas sana.

Dua?

BRAK! Suara pukulan keras terdengar dari atas, Ibu mereka sudah menelepon seseorang—mungkin para pengawal yang mengikuti kereta api dengan jalan umum. Ibunya terlihat panik. Aeth melirik arloji ditangannya, hanya pukul satu pagi.

Ayah mereka yang sedaritadi hanya diam—sebenarnya kurang menyukai ide tentang kereta api ini pun bangkit, menelepon beberapa orang yang sengaja ditempatkan di gerbong lainnya. 

Aeth tidak mengerti bagaimana bisa, seseorang masuk dari jendela gerbong yang sedang bergerak, memecahkan kaca jendela kereta api dengan sepatunya, dan langsung menyekap Aerl yang kebetulan duduk paling dekat dengan sana. Aeth dan Ayahnya bangkit dari posisi duduk mereka bersamaan, tapi tak berani bergerak karena senjata tajam yang disodorkan ke leher Aerl.

"Berhenti bergerak!"

Seseorang datang dari arah gerbong pengendali, lalu mengarahkan senjata api ke arah mereka berdua bergantian.

Aerl menatap mereka berdua dengan tatapan tajam, tetap tak ingin tenang meski telah diancam.

Hening beberapa detik, sebelum gerombongan orang-orang datang ke gerbong, semuanya mengarahkan senjata ke arah mereka berdua—atau mungkin bertiga karena ada Aerl. Ibunya memeluk Aesl makin erat dan menangis tersedu saat kedua orang itu kabur ke depan membawa Aerl.

Aeth, ayahnya dan semua orang-orang di belakang mereka, langsung mengejarnya.

Masinis profesional yang mereka sewa malam ini telah pingsan. Pelipisnya mengeluarkan darah dan kini kereta api sedang bergerak dengan cepat.

Pintu gerbong pengendali dibuka, orang yang menyekap Aerl mencengkram kerah Aerl dan mendorong tubuh Aerl ke luar. Hanya kaki dan tangan Aerl yang masih berusaha mencengkram besi pintu dan tatapan tajam Aerl menatap mereka penuh dendam.

Aerl selalu seperti itu, keras kepala meski keadaan mencekam disaat seperti ini

"Berhenti atau kulepaskan dia?"

Aeth dan ayahnya berhenti. Salah satu dari mereka yang membawa senjata api menembakkan peluru, hampir mengenai kaki Aeth, namun meleset.

Mendengar suara tembakan, semua pengawal dari belakang mereka, menembakkan senjata mereka pada pembajak yang memegang senjata api. Ia tadi jatuh tersukur dengan darah mengalir membanjiri lantai gerbong pengendali.

Dari jendela, Aeth bisa melihat banyak mobil dari jarak sepuluh meter, semuanya mengarahkan senjata mereka ke arah gerbong pengendali. Aeth memberanikan diri mendekat ke Aerl dan satu lagi penyusup itu. Tanpa mengenal takut, parang panjang itu ditariknya menjauh dari leher adiknya.

Adiknya mengumpat di sana, Aeth baru saja melawan orang itu dengan tangan kosongnya.

Suara tembakan terdengar, kali ini tepat terkena kepala orang itu. Tubuhnya jatuh tepat di atas rekan kriminalnya. Akibatnya, cengkraman di kerah Aerl lepas dan Aerl terpental ke belakang karena kecepatan kereta.

Aeth dengan cepat menarik tangan Aerl yang kini berada di genggamannya, Aeth menarik adiknya masuk ke dalam gerbong kereta.

"KAK!"

...dan Aeth merasakan terbang bebas untuk pertama kalinya.

***

1 Januari 2017, Minggu.

Cindyana's Note

Hanya cerita yang berbeda dalam waktu yang sama tahun baru hari itu.

And yes, It's Tyara's birthday. On today.

Also, read my another story, if you interest.
1. Little Magacal Piya
2. FLASHBACK
3. DN
4. The Lost Memories
5. Aqua World
6. Revive
All completed except 5&6

CINDYANA H

🎆

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang