The Seventeenth Station - "Hope in Nope"

32.4K 4.7K 235
                                    

The Seventeenth Station.

Mataku terbuka perlahan. Hal pertama yang dominan di indera penglihatanku saat aku bangun adalah..., putih.

Hal yang sedaritadi menganggu indera penciumanku adalah bau obat-obatan. Hal yang menganggu indera pendengaranku adalah suara tetesan air yang bertempo dan suara..., apa itu namanya? Sepertinya yang untuk melihat grafik detakan jantung. Elektrokardiogram.

Aku terbaring di sebuah ruangan bernuasa serba putih, khas rumah sakit. Pakaianku juga diganti dengan piyama rumah sakit berwarna putih bergaris merah.

Kuperhatikan selang infus yang menyatu dengan punggung tanganku, ada pula selang oksigen di tepi ranjang, namun tak terpasang di hidungku.

Saat aku mencoba duduk, kepalaku terasa nyeri sekali. Aku bisa merasakan kepalaku diperban sampai membungkus kepala atasku. Bagian yang terluka mungkin di belakang, sebab aku merasakan sakit yang teramat sangat di bagian itu.

Tak lama kemudian, seseorang yang berpakaian khas dokter pun masuk ke ruangan. Ada sebuah stereoskop mengantung di lehernya. Wanita itu memegang map dan beberapa kertas di tangannya.

"Selamat pagi, Tyara," sapanya.

Aku hanya bisa menganggukan kepalaku dan tersenyum canggung. "P-pagi."

"Bagaimana keadaanmu?"

Aku mengusap kepalaku dan meringis. Kepalaku benar-benar terasa sangat sakit. Sangat. "Kepalaku sedikit sakit."

"Hm," Wanita itu menuliskan sesuatu di kertasnya. "Kamu koma selama seminggu."

Seminggu? Waktu yang cukup lama untuk...., oh, yaampun. Aku baru teringat dengan kejadian malam itu. Kejadian yang cukup...., menyedihkan.

Mengapa aku masih hidup?

"Untunglah semua tubuhmu jatuh di atas tanah dan rumput, bukan keramik atau batu keras lainnya. Mungkin kepalamu terasa sakit, tapi tidak ada yang fatal. Kepalamu hanya sedikit lecet. Tapi tenanglah, itu hanya luka kecil yang akan sembuh dalam waktu dekat,"

"Uhm, baiklah, terima kasih, dok," jawabku tanpa tahu hendak menjawab apa.

Wanita itu tersenyum, lalu meninggalkan ruangan, meninggalkanku sendiri yang terbaring di sini. Kuperhatikan nakas di sebelahku. Ada bingkisan bunga melati putih yang jumlahnya lumayan banyak, ada pula buah-buahan yang dibungkus dalam plastic warp.

Keheningan sangat terasa, hanya ada suara 'beep' dan suara langkah kaki dari luar yang lalu lalang. Mataku memperhatikan jam dinding besi yang menggantung tepat di depanku.

Pukul delapan pagi.

Aku tiduran setengah gelisah, beberapa kali bergerak mencari posisi nyaman. Tapi tetap saja aku tak menemukan posisi nyaman setelah beberapa kali bolak-balik. Gerakanku terbatas dikarenakan selang infus yang ada di punggung tangan kiriku.

Suara dering alunan piano dari lagu di ponselku membuatku terperanjat. Bukannya aku lupa tentang diriku yang memasang lagu itu sebagai nada dering. Tapi, lagu itu sama sekali tidak pernah terputar tiba-tiba seperti ini, yang mana halnya hari ini seseorang meneleponku.

Hal yang jarang terjadi itu sontak membuatku gugup. Kulirik layar ponselku dari ranjang. Tanganku mencoba meraih ponsel meskipun tanganku sedikit sulit digerakan. Saat aku mendapatkan ponselku, membaca nama penelepon, mataku menerjap.

Mama is Calling.

Terakhir kali aku bertemu Mama adalah malam itu, dengan semua hal yang menyesakan yang keluar dari mulutnya. Seharusnya malam itu aku membiarkan semuanya berlalu dengan baik-baik saja. Seharusnya omongannya sore itu tak perlu kucerna bulat-bulat, yah, aku tahu. Aku salah.

LFS 1 - Air Train [END]Where stories live. Discover now