The Eighteenth Station - "The Secret Miracle"

31.2K 4.6K 80
                                    

Hari ini Gracia menjengukku.

Bunga yang dibawanya itu tidak bisa kuterima ataupun kutolak. Vas di nakas sudah diisi oleh bunga melati putih-bunga kesukaan mendiang nenekku. Karena melihat betapa kecewanya wajah Gracia, aku pun mengatakan bahwa aku akan meminta Mama membawanya pulang nanti.

Oh ya, tidak ada seorangpun yang mengetahui masalah dalam rumahku, sekalipun itu Gracia yang bernotabene teman terdekatku.

"Kamu merasakan mati suri-kah?" Gracia bertanya tanpa rasa bersalah, membuatku menatapnya cemberut. "Maaf, maksudku ..., apa kamu merasakan sesuatu saat koma?"

Aku menggeleng, yang membuat Gracia pada akhirnya duduk di tepi ranjang sambil menunjukan ponselnya di depanku.

"Aku baca-baca di internet, katanya orang koma berkemungkinan merasakan mati surinya dengan menjelajahi tempat-tempat tertentu. Oh, ada pula yang sebenarnya sadar, tapi tubuhnya tidak mau bergerak. Nah, aku curiga kalau kamu sebenarnya merasakannya tapi kamu tidak mau berbagi ilmu."

Aku menghela nafas. "Aku serius, Cia. Aku tidak merasakan apapun. Yang aku ingat hanya bagian aku jatuh, tidur dan bangun."

"Bohong."

"Dasar, keras kepala," desahku malas. "Lagipula itu kan kata internet, kamu lebih percaya sama internet daripada narasumbernya langsung?"

"Info di internet diambil dari banyak sumber," tambah Gracia dengan cepat.

Aku tak lagi membalas perkataannya, toh apapun yang kukatakan, Gracia tetap akan terus menuntutku menceritakan hal tentang apa yang kurasakan. Aku tahu pasti Gracia menyukai topik-topik tentang itu. Seperti lucid dream, mati suri, dunia lain, time traveller, dan semua hal-hal lain yang belum dikonfirmasikan kebenarannya dan tidak bisa dijelaskan dalam teori-teori ilmu pengetahuan.

Yang kuingat pasti, Gracia pernah berdebat dengan Runa saat mereka berkolaborasi membuat cerita tentang petualangan pelaut yang melintasi perairan dekat segitiga bermuda. Aku tidak tahu bagaimana ide konyol mereka memutuskan untuk berkolaborasi meskipun keduanya selalu berdebat.

Yang kutahu, akhirnya cerita bertema fantasi itu akhirnya tidak jadi dibuat karena sifat keras kepala mereka berdua.

"Ayolah, Tyara. Cerita sedikit."

Aku lagi-lagi menghela nafasku. "Kamu pemaksa sekali. Sudah kubilang, aku tidak merasakan apa-apa."

Wajah Gracia cemberut, sebelum akhirnya dia termenung meratapi dinding polos di depannya. Hal itu sempat membuatku mengerutkan kening, aku bahkan sempat berpikir bahwa Gracia punya masalah. Dan semuanya terjawab saat kudengar Gracia bergumam kecil. "Selama seminggu ini ..., begitu teman sekelas tahu kalau kamu koma, mereka semua turut mendoakan," ujarnya lirih. "Apalagi mengingat bahwa kejadian itu terjadi malam setelah kamu pulang dari rumahku. Mereka merasa bersalah dan khawatir."

Aku berdengus. "Tenang, bukan salah mereka kok. Kecerobohanku," ujarku terpaksa berdusta.

"Sebenarnya empat hari yang lalu teman sekelas kita datang-meski nggak terlalu lengkap sih, tapi banyak yang datang. Tadi aku kabarin di grup kelas, katanya mereka bakal datang besok," sahut Gracia panjang lebar.

"Nggak usah repot-repot, kali. Aku-nya udah sembuh juga. Besok aku harus terapi, biar ototku terbiasa lagi."

Gracia menghela nafas kecewa. "Oke, aku bakal kabarin mereka."

Cukup lama juga Gracia mengotak-atik ponselnya, terdengar suara nada dering balasan beberapa kali sebelum akhirnya Gracia menyimpan ponselnya dalam saku kembali.

"Ibuku bilang akan mengantarkanku tigapuluh menit ke depan. Apa yang akan kita lakukan?"

Aku hanya mengendikkan bahu, aku tidak punya ide. Yang aku tahu hanyalah, mau bagaimanapun keadaan kamar di ruang inapku saat ini, itu tidak akan bisa membunuh bosan yang ada. Bahkan kedatangan Gracia sekalipun. Aku benar-benar sudah bosan melihat lampu putih di atasku, tirai-tirai berwarna biru muda, dinding polos berwarna putih yang ada di depanku. Aku bosan.

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang