The Nineth Station - "The Miracle She Used to Wait"

37.4K 5.2K 38
                                    

Suara mobil yang memacu normal, lampu-lampu jalanan yang masih menyala meski langit mulai mengangkat naik dirinya. Matahari belum menampakan dirinya, namun dapat membuat sebagian besar langit mulai jelas. Awan-awan putih yang tampak dan bintang-bintang yang bersedia menghilang.

Kuperhatikan air botol mineral yang bahkan tidak sampai seperempat itu, tampak bergetar mengikuti getaran mesin mobil yang menyala dan memantulkan cahaya lampu jalanan beberapa kali saat lewat. Tidak ada apapun yang menerangi tempat ini kecuali lampu itu.

Tak lama kemudian, terdengar suara dering telepon yang membuatku familiar sejenak. Lagu base song ponsel Mama yang sejak dulu tidak pernah diganti. Tapi, sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah mendengarkan lagu itu kembali.

"Halo?"

Suara desas-desis terdengar dari telepon, mungkin hal yang penting, sebab ekspresi Mama tampak terkejut saat orang itu menjelaskannya.

"Benarkah? Akan kuperiksa lagi nanti."

Beliau mematikan teleponnya, yang membuatku menghela nafas lega untuk sejenak. Kukira Mama akan meminta Papa untuk memutar balik ke rumah. Kami sudah berada di setengah jalan menuju rumah Kakek dan Nenek. Terdengar mustahil namun benar-benar terjadi.

Hari ini kami sekeluarga berencana menginap di rumah Kakek dan Nenek, sebab di saat aku kebetulan tengah liburan sekolah, mereka juga tengah menikmati cuti akhir tahun mereka. Waktu terasa cepat berlalu, bahkan aku telah lupa bahwa waktu telah terputar dua tahun hingga hari ini.

Aku menguap beberapa kali, lalu memejamkan mataku berusaha untuk tertidur, setidaknya untuk mengistirahatkan mataku dari lelah yang juga kurasakan. Hampir tiga jam perjalanan, kami belum juga mencapai tempat yang kami tuju, bahkan masih ada dua jam lagi sebelum kami tiba di sana.

Alasan kami berangkat jam dua pagi tadi, hanya untuk menghindari macet panjang yang biasanya terjadi saat pasar-pasar pagi dibuka nanti.

Beberapa saat setelah mataku terpejam, aku mendengarkan percakapan Papa dan Mama yang menyangkut pautkan diriku.

"Sudah kubilang kalau Tyara bukanlah anak yang menyusahkan." Papa membuka suara. "Atau bisa kukatakan, Tyara hampir tidak pernah menyusahkan kita."

Mama terdiam sejenak, lalu menghela nafas.

"Dia memang tidak menyusahkan."

Aku ingin sekali tersenyum lebar mendengar perkataan Mama, namun kutahan dengan sekuat tenaga. Apalagi aku tengah yakin bahwa Mama tengah menatapku.

"Tapi dia benar-benar sulit."

Kebahagiaanku yang sempat melambung tinggi, langsung terbanting ke bumi kembali ketika mendengarkan perkataan itu. Aku anak yang sulit? Apa maksudnya?

"Beberapa bulan yang lalu, dia memperlihatkanku sebuah kunci."

Aku terdiam, berusaha menetralkan nafasku agar terdengar normal. Sekat pernafasanku rasanya semakin menyempit saja.

"Hm, aku tahu."

"Itu mirip kunci kuno yang sudah lama tak dipakai, kan?"

Kini aku merasakan tatapan mereka terhadap sesuatu yang kini kukenakan di leherku. Aku memang membuat kunci itu menjadi barang bawaan wajib yang harus dibawa kemana-mana dan kini aku merasa terpojokan.

"Entahlah, menurutku itu kunci untuk membuka gembok yang besar."

Aku mengetahui bahwa benda yang dijatuhkan oleh Kereta api itu adalah kunci dari Bi Erni. Setelah kuperhatikan dengan seksama, barulah aku mempercayainya. Adalah kesalahan saat aku kembali mempertanyakan hal ini kepada Mama. Mama tampaknya risih terhadap semua topik yang bersangkutan dengan kunci ini.

LFS 1 - Air Train [END]Where stories live. Discover now