Part 17

520 42 3
                                    

Mataku menajam kearah pojok ruangan, kakiku terasa lemas, jantungku berdebar, tanganku mengepal. Ternyata semuanya sama saja.

Lagi-lagi wanita itu, dia sekarang  duduk di pangkuan Devin dan mereka sedang bercumbu. Tak bisa dibiarkan.

"Devin! What are you doing?" kedatanganku membuat Devin terlonjak.

"Li.. Lia. Aku bisa menjelaskan, ini tak seperti yang kau lihat." Aku menepis tangan Devin ketika dia mencoba menggenggam tanganku.

"Siapa kau?" tanyaku mencoba meredam amarah.

"Caroline, panggil saja Olin," jawab wanita ini seraya mengulurkan tangan. Tak terlihat sedikit pun penyesalan dari matanya.

Apa aku bisa menyebutnya jalang? Dulu, aku memang membiarkan Devin menemui dan berbincang-bincang dengannya karena itu masih batas normal. Tapi berbeda dengan sekarang, aku melihatnya lagi sedang bercumbu mesra bersama Devin.

Aku pun membalas uluran tangannya, "Nata, sepupunya Devin," kataku bohong. Kulihat wajah Devin sangat gelisah.

"Oh iya? Kata Devin kau adiknya," ucapan Olin membuatku terkejut. Jadi ini yang Devin katakan di depan orang lain. Seharusnya aku sadar jika dari awal Devin hanya bermain-main saja denganku. Terbukti dari tidak keterbukaannya terhadapku.

"Ya, dia kakak yang baik. Aku menyesal sudah mengganggu kalian. Permisi, aku pergi dulu," ucapku lalu meninggalkan mereka dengan sedikit berlari.

Aku tak bisa menahan air mataku untuk tidak keluar. Devin tidak mengejarku, bahkan memanggilku saja tidak. Dia benar-benar tidak peduli.

Aku memilih keluar dari pesta, suara bising dan cahaya disini membuatku semakin merasa tak karuan.

Sepertinya mereka semua menikmati pesta ini, kecuali diriku. Tak kutemukan tanda-tanda kemunculan Tiffany dan kedua orangtuaku. Biarlah, lagi pula aku ingin sendiri untuk saat ini.

Jalanan terlihat sepi sehingga sulit untukku menemukan taksi. Sambil menunggu taksi, aku berjalan menyusuri trotoar. Mungkin aku tampak seperti orang gila. Bagaimana tidak? Mata sembab, hidung memerah, dan berjalan tanpa alas kaki. Lebih baik tak beralas daripada memakai high heels terkutuk itu.Lampu-lampu jalan seakan mengawasi langkah kakiku ke manapun aku beranjak pergi.

Tak kusangka malamku akan seburuk ini. Bayangan Devin bersama Olin terus menghantui pikiranku. Saat aku sudah mulai membuka hati, dengan mudahnya Devin menghancurkan semuanya.

Hatiku semakin kuat jika hanya Melvinlah yang pantas aku cintai. Kugenggam gelang yang ada di tangan kiriku. Hanya ini satu-satunya pemberian Melvin yang paling berharga.

Sudah berapa jauh aku berjalan? Kaki ini menjerit kesakitan karena bergesekan dengan aspal. Angin malam terasa dingin sampai menusuk tulang. Apalagi gaun yang tidak seluruhnya menutup tubuhku.

Di halte aku memilih untuk duduk, meskipun kuyakin tak ada satu bus pun yang akan lewat.

***

Ruangannya serba putih, langit-langit ini pun terasa asing di mataku. Jelas ini bukan rumah sakit karena terdapat lemari kaca berukuran besar, tempat tidur king size, dan pemandangan yang cukup indah terlihat dari balik jendela jika tirainya dibuka.

Sebenarnya aku dimana? Terakhir kuingat, tadi malam aku duduk di halte dan tertidur. Apa aku tertidur sampai tak menyadari ada seseorang yang membawaku kesini? Pasti seseorang, tidak mungkin jika aku dibawa makhluk ghaib atau semacamnya.

Ceklek! Pintu terbuka menampilkan wanita separuh baya berseragam pembantu menurutku.

"Nona sudah bangun rupanya. Tuan besar menunggu Nona untuk sarapan bersama, saya permisi."

Tanpa sempat aku bertanya,wanita itu langsung pergi meninggalkanku yang masih termenung memikirkan tentang dimana tempat ini.

Dengan rasa penasaran, aku melangkahkan kaki menuju ruang makan.

"Kemarilah, sudah lama kita tidak sarapan bersama," suara itu mengejutkanku.

Dia masih terlihat tampan dengan hidung mancung dan mata birunya. Haruskah aku bersyukur karena dia yang membawaku, bukan orang lain ataupun orang jahat yang pasti akan berbuat tidak senonoh terhadapku.

Tubuhnya menegang saat aku memeluk tiba-tiba. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih dan rasa rinduku karena beberapa hari ini dia menghilang begitu saja.

"Sudah memeluknya?" tanyanya kemudian aku melepas pelukanku.

"Kau membuatku khawatir dan penasaran. Kukira aku akan dibawa kemudian dijual ke luar negeri oleh orang asing," ujarku, dia terkekeh kemudian mendudukkanku di kursi sebelahnya.

"Jangan berlebihan, Nata. Lagipula tidak ada yang mau membelimu."

Bibirku mengerucut mendengar kalimatnya.

"Sudahlah, lebih baik kita sarapan dulu, jangan cemberut," ucapnya seraya mengacak rambutku.

Selesai sarapan, aku tak bisa lebih lama menahan pertanyaan-pertanyaan yang ada di benakku. Semuanya membuatku penasaran. Kupandangi dirinya yang sedang duduk di sofa, tangannya memainkan ponsel. Entah apa yang dilakukannya dengan ponsel itu, mungkin main games atau asik chatting-an, aku tidak tahu.

Dia menoleh dan tersenyum tipis saat aku duduk di sebelahnya. Sebenarnya aku canggung dengannya, bahkan dia tidak ikut mengantar Kak Willie ke bandara untuk mengucapkan salam perpisahan.

Hening, hanya ada suara jam dinding berdetak dan suara yang dihasilkan dari ponselnya.

"Sepertinya ada yang ingin kau tanyakan," akhirnya dia membuka suara.

"Eh.. iya, sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih dan ... bagaimana bisa aku sampai disini?" tanyaku tanpa menatapnya, gugup sekali.

"Aku melihatmu pingsan di halte, tadinya aku ingin membawamu ke apartemen Devin tapi aku tidak tahu alamatnya, jadi kubawa saja ke rumah, kau tidak keberatan, kan?"

"Tidak, maaf sudah merepotkanmu dan...," aku tidak enak untuk menanyakannya, tapi ini harus ditanyakan, tadi malam tubuhku masih memakai gaun sedangkan sekarang sudah memakai piyama. Kutatap piyama ini untuk mewakili pertanyaanku.

"Tak usah khawatir, bibi Maria yang memakaikan baju untukmu," syukurlah dia mengerti isyaratku. Aku mengangguk lega.

"Mengenai orangtuamu, aku sudah memberi tahu mereka jika kau menginap disini dan mereka tidak keberatan. Sebenarnya apa yang terjadi tadi malam sehingga kau jatuh pingsan di halte sendirian?"

"Aku tak mengingatnya," jawabku singkat.

Tidak mungkin jika aku menceritakan soal Devin tadi malam. Aku tidak ingin ada yang ikut campur dengan urusan rumah tanggaku. Biarkan masalah ini hanya aku, Devin dan wanita jalang itu yang tahu.

To be continued
Maaf baru update
Thanks ya yang udah luangin waktu buat baca cerita ga jelas ini..

Stay With Me, Vin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang