15. Tentang Luka

8.9K 1.1K 70
                                    

"Malya?" Perempuan yang dipanggil Malya itu mendengak, menatap Fatir yang memandangnya dengan kening dikerutkan.

Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Malya akhirnya kembali lagi ke Kalosi Koffie. Mengabaikan rasa dingin di ujung-ujung jemarinya, juga rasa sesak ketika dia menghirup aroma kopi. Sepertinya, Malya masih belum terbiasa dengan wangi kopi, sekeras apa pun usahanya. Kilasan demi kilasan tentang ayahnya selalu hadir setiap kali Malya menghirup aroma kopi.

"Iya, saya Malya," ucap Malya akhirnya.

"Cari Jendra? Tadi dia ke belakang sebentar." Fatir menoleh ke arah bar dan belum menemukan Rajendra di sana. "Mau gue panggilin dia?"

"Nggak perlu. Saya bisa nunggu kok."

Kepala Fatir mengangguk seraya tersenyum "Nggak perlu formal gitu sama gue, Mal. Pake gue-lo aja lebih nyaman. Kalo gitu gue balik ke bar ya. Eh mau gue buatin minum?"

"Ehm, nggak perlu. Thanks ya..."

"Fatir."

Malya tersenyum kikuk.  "Thanks Fatir."

Setelah melihat Fatir kembali ke arah bar, Malya melanjutkan kegiatan mengedit fotonya. Ada beberapa foto yang harus diselesaikan, sebelum Abimanyu membombardir ponselnya. Sebenarnya ini hanya salah satu cara Malya menghilangkan rasa gugupnya semenjak duduk di kursi Kalosi Koffie. Tidak...dia bukan gugup karena akan bertemu Rajendra. Hubungannya dengan Rajendra memang menjadi sedikit lebih dekat setelah lelaki itu merawatnya ketika dia sakit. Iya, hanya sedikit. Karena Malya belum sepenuhnya percaya terhadap lelaki itu.

"Kenapa kamu nggak kasih kabar kalau mau ke Kalosi Koffie?"

Suara berat dan dalam itu menarik Malya dari rasa gelisahnya. Rajendra sudah duduk tepat di hadapannya entah sejak kapan. Lelaki itu menggunakan apron cokelat, ada sisa-sisa air di wajahnya, sepertinya Rajendra baru saja membasahi mukanya di kamar mandi. Dan Malya baru sadar bahwa Rajendra terlihat lebih menarik ketika menggunakan apron. Oh apa yang dipikirkan Malya sebenarnya, perempuan itu menggelengkan kepalanya pelan.

"Apa bedanya jika saya kasih kabar ke kamu? Pada akhirnya saya tetap berada di Kalosi Koffie"

Sudut bibir Rajendra tertarik ke bawah. "Setidaknya biarkan saya jemput kamu, Malya."

"Kamu nggak perlu melakukan itu. Saya bisa ke sini sendiri."

"Dan membiarkan kamu berdesak-desakan di angkutan umum?" Nada suara Rajendra naik sedikit. Membayangkannya saja membuat lelaki itu kesal setengah mati.

Kedua alis Malya bertaut, heran melihat respon Rajendra yang menurutnya agak berlebihan. "Saya naik gojek dan saya nggak berdesak-desakan dengan driver-nya."

"Oh, saya kira kamu naik angkot atau semacamnya itu." Rajendra mengembuskan napas lega.

Malya menggeleng seraya tersenyum kecil, ada gejolak aneh di perutnya ketika Rajendra mengkhawatirkannya seperti tadi. Namun, hal itu tidak serta merta mengurangi rasa gelisahnya, aroma kopi di sini terlalu pekat. Kedua tangannya bertaut, begerak-gerak resah dan perilaku itu tidak luput dari pandangan Rajendra.

Seolah tahu apa yang dirasakan Malya, Rajendra berucap. "Kamu tidak nyaman ya? Mau pindah tempat?"

"Pindah? Maksud kamu?" tanya Malya ragu.

"Ke taman belakang, ada kursi di sana. Ayo."

Rajendra menarik tangan Malya, menautkan jemari mereka dan mebawanya menuju taman belakang. Fatir yang kebetulan memerhatikan hal tersebut hanya bisa tersenyum. Rajendra tidak pernah membawa teman perempuannya ke taman belakang Kalosie Koffie.

LoslatenWhere stories live. Discover now