8. Satu Rahasia

10.8K 1.2K 88
                                    

Ada aroma kenangan yang pekat setelah hujan menyapa permukaan tanah. Selalu terselip rasa sendu dan rindu yang jatuh beriringan dengan tiap tetes airnya. Malya yakin, hujan lebat sore ini adalah akumulasi dari setiap rindu yang tanpa sadar dilafalkan di setiap doa manusia, termasuk dirinya. Doa-doa yang bahkan dia tidak yakin apakah benar-benar sampai ke tujuan. Tetapi, dengan adanya jutaan atau bahkan miliaran tetes air hujan, perempuan itu percaya bahwa dia bukanlah satu-satunya orang yang berdoa untuk orang lain.

Perempuan itu mengulurkan tangannya, membiarkan sisa-sisa air hujan membasahi telapak tangan Malya. Udara dingin di desa Pangauban yang bercampur dengan angin selepas hujan tidak lagi membuatnya menggigil. Sebab, ada hal lain yang mendatangkan gemetar yang lebih hebat, yaitu kecelakan mobil setengah tahun lalu.

Di sela-sela pejaman matanya, Malya bisa merasakan tubuhnya menggigil tanpa sebab. Fragmen-fragmen kejadian itu menyesaki ingatannya, membuat napasnya tersekat. Lekas perempuan itu menarik tangannya dan berbalik, berencana untuk masuk ke dalam rumah Pak Rama.

"Kamu baik-baik saja?"

Malya mentap Rajendra tepat ke manik mata dan membungkamnya. Lelaki itu tertegun, dia bisa melihat sisi lain Malya yang baru dilihatnya sore ini. Tatapan penuh luka dan kehilangan, berbeda 180 derajat dengan sosok yang ditemuinya pagi tadi. Namun, itu terjadi hanya sepersekian detik, pada detik selanjutnya pandangan itu berubah menjadi lebih tenang dan dingin.

"Sejak kapan kamu di sana?" Malya bertanya, ada nada curiga didalamnya.

Rajendra sadar bahwa perempuan itu telah kembali memasang tembok tak kasat mata di antara mereka. Lelaki itu berdecak, merasa kesal dengan pertanyaannya yang diabaikan Malya.

"Kamu itu hobi banget jawab pertanyaan saya sama pertanyaan lagi. Saya baru aja ada di sini. Pak Rama minta saya manggil kamu."

Tanpa menunggu respon, Rajendra berbalik dan berlalu dengan langkah lebar, meninggalkan Malya yang masih bergeming. Perempuan itu memejamkan mata. Ini salah. Rajendra adalah sebuah kesalahan yang hadir dihidupnya.

Selain sama-sama menyukai kopi, Rajendra dan lelaki itu memiliki kemiripan lain. Perasaan itu, rasa nyaman yang tanpa sadar tersisip pada saat jabat tangan mereka, adalah hal lain yang membuat Malya resah sesorean ini.

Dengan langkah segan, Malya berjalan menuju ruang makan. Di ambang pintu, perempuan itu berhenti. Indra penciumannya dikacaukan oleh aroma kopi yang kental. Di depan Malya, dua lelaki berbeda generasi sedang asik bercengkrama tanpa sadar ada orang lain di sekitarnya. Tubuh Rajendra membelakangi Malya, tangan lelaki itu menggenggam gelas kopi, dan tepat di hadapannya Pak Rama sedang bercerita sambil sesekali menyesap gelas kopi yang hampir kosong. Samar-samar Malya bisa mendengar percakapan kedua orang tersebut.

"Harga biji kopi memang sedang naik, Dra. Tapi kamu tahu sendiri, kan, musim hujan sama kemarau sekarang ini nggak jelas. Imbasnya ya ke bunga kopi yang gagal jadi buah."

Rajendra mengaguk-anggukan kepalanya, Rambut ikal lelaki itu terlihat basah. "Tapi harga jual ke kami tetap ada diskon, kan, Pak?"

"Buat kamu sama Fatir mah, Bapak kasih harga murah terus, atuh."

Setelah mendengar jawaban Rama, bahu cegak Rajendra bergetar karena tawa. Sampai akhirnya Pak Rama menyadari kehadiran Malya, tangan lelaki paruh baya itu melambai.

"Loh, Neng, kenapa berdiri di depan pintu? sini duduk, Ibu lagi nyiapin makanan di dapur. Kita makan bareng."

"Iya... Pak." Malya bersyukur bukan Rajendra yang menangkap basah dirinya sedang memandang intens lelaki itu.

"Neng, mau kopi?"

Belum sempat Malya membuka mulutnya, Rajendra sudah mendahuluinya.

"Malya nggak minum kopi, Pak," tukas Rajendra.

LoslatenWhere stories live. Discover now