9. Alasan

9K 1.1K 96
                                    

"Hasil roastingnya terlalu dark. Ini lo yang buat, Tir?" Tatapan Rajendra terpaku pada biji kopi dengan warna hitam berminyak tanpa berkedip. Kedua alisnya bertaut tanda tak suka.

"Iya, kenapa emangnya? Kualitasnya masih ok."

"Model kayak gini kurang cocok buat manual brew, Tir. Ini gosong dan rasanya pasti pahit banget!"

"Buat ngilangin rasa pahit dan gosongnya, lo bisa pake french press atau pour over 60, Dra. Cita rasa kopinya nggak akan hilang. Lo kenapa sih? Sensi banget kayak orang bisulan," cibir Fatir.

Rejendra memilih untuk mengabaikan pertanyaan Fatir. Suasana hatinya setelah kembali dari tempat Pak Rama memang sedikit buruk, sangat buruk malah. Rajendra selalu saja memprotes hal-hal kecil seperti tadi. Tepat satu minggu pula insiden pulang bersama antara dia dan Malya, selama itu juga pikiran Rajendra terusik dengan hal tersebut.

Lelaki itu tidak bisa melupakan bagaimana raut sendu Malya yang mengirimkan perasaan asing ke dalam hatinya. Rajendra menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara kasar. Suara bising mesin pembuat kopi mengisi kekosongan di antara mereka. Fatir baru saja menyelesaikan latte art berbentuk angsa dan memberikannya pada perempuan muda di depannya.

"Espresso con panna satu, aceh gayo manual brew satu," seru Rani dari balik meja kasir. Memecah kebekuan tak kasat mata di antara dua lelaki itu. Rajendra sudah mengambil portafilter dan mengisinya dengan bubuk kopi. Dia memutuskan untuk menggunakan mesin espresso alih alih manual.

"Lo buat aceh gayonya, Tir."

"Dan lo harus kasih penjelasan ke gue setelah ini."

Rajendra hanya mengagguk kaku sebagai jawaban. Mungkin cara terbaik untuk mengembalikan suasana hatinya adalah menceritakan masalah ini kepada Fatir. Meski Rajendra yakin, pada akhirnya bukan solusi yang akan dia dapat.

***

"Minggu lalu, gue sama dia pulang naik mobil dari Garut. Lebih tepatnya, gue maksa dia untuk pulang bareng sih." Kalimat tadi menjadi penutup cerita Rajendra. Tentu dengan melewati bagian Malya yang menjadi histeris di tengah perjalanan. Kalosi Koffie sudah tutup tiga puluh menit yang lalu jadi dia dan Fatir bisa duduk santai.

Fatir mengangkat satu tangannya ke udara. "Tunggu... tunggu, 'dia' ini maksud lo siapa?"

Bukannya menjawab Rajendra malah menengadahkan kepalanya dan menatap nyalang langit-langit Kalosi Koffie. Dia mengusap wajahnya gusar.  Melihat reaksi Rajendra seperti itu memberikan satu pemahaman di wajah Fatir.

"Ngeliat muka lo yang kusut kayak kanebo kering, gue yakin ini nggak jauh dari pelanggan kopi itu kan? Siapa namanya? Malya ya?"

Rajendra hanya menggumam.

"Lo ketemu sama dia di Garut?" Fatir mengusap pelipisnya, pura-pura berpikir. "Apa ini yang disebut jodoh pasti bertemu?" Fatir tidak bisa tidak tertawa, melihat sahabatnya seperti orang bodoh karena cinta menjadi hiburan tersendiri untuknya.

Rajendra mendengus, tidak ada gunanya berbicara dengan Fatir.  "Lo sama sekali nggak ngasih solusi, Tir." Rajendra berkata sinis.

"Abisnya, lo itu macem anak ayam kehilangan induknya, nggak jelas tujuan hidupnya." ucap Fatir setelah tawanya terhenti.

"Malya. Dia berbeda dari cewek yang biasa gue jadiin pacar. Terlalu banyak rahasia yang dia simpan." Pandangan Rajendra menerawang, mengingat pertemuan-pertemuannya dengan Malya.

"Dra, apa lo suka sama dia? atau lo cuma penasaran?" tanya Fatir langsung.

Mendapat pertanyaan seperti itu Rajendra tersentak. Dia menatap Fatir yang tengah bersedekap dengan wajah serius.

LoslatenWhere stories live. Discover now