Part 2

1.1K 113 27
                                    


Aku menatapnya dengan sangat terkejut. Mata coklatnya, hidung mancungnya, dan semua yang ada pada dirinya mengingatkanku pada seseorang yang telah meninggalkanku beberapa tahun yang lalu.

"Maaf Nona, aku tidak sengaja menemukan gelang ini tergeletak di lantai. Kupikir ini punyamu." kata lelaki itu sambil melepas cekalannya dan menyerahkan gelang.

"Oh iya, ini memang gelangku. Terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu," balasku seraya menerima gelang yang dia berikan. Tanpa aku sadari gelang itu terlepas dari tangan kananku.

Aku sangat bersyukur karena laki-laki ini menemukan gelangku. Mungkin aku akan menangis tujuh hari tujuh malam jika gelang ini hilang. Aku terdengar sangat cengeng kan?

Tapi begitulah, aku akan menangis jika sudah menyangkut sesuatu hal yang berharga dalam kehidupanku hilang atau meninggalkanku, seperti gelang ini.

Dia hanya tersenyum lalu meninggalkanku.

"Hei tunggu!" teriakku padanya dan dia menoleh.

"Ada apa?"

"Aku ingin mengajakmu makan. Aku yang mentraktirmu."

Dia menatapku dengan bingung dengan menaikkan alis kirinya.

"Bukan apa-apa. Aku hanya ingin berterima kasih karena kau telah menemukan dan memberikan kembali gelangku." ucapku padanya kemudian dibalasnya dengan anggukan.

Kami memesan makanan pada pelayan restoran setelah memilih tempat duduk di dekat jendela. Aku mengirim pesan kepada Tiffany untuk menemuiku di restoran ini agar dia tidak mencariku.

Cukup hening, hanya ada suara orang bercakap-cakap disekitar tempat duduk kami.

"Oh iya, kita belum berkenalan. Aku Natalia," kalimat pertama yang keluar dari mulutku untuk memecah keheningan seraya mengulurkan tangan.

"Devin" katanya seraya membalas uluran tanganku.

"Senang berkenalan denganmu. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih karena kau menemukan gelangku," kataku dengan menatap mata coklatnya itu. Ah, lupakan. Batinku.

"Jangan berlebihan. Kau sudah mentraktirku, seharusnya aku yang berterima kasih." ucapnya dengan senyum yang manis.

Tiba-tiba ponsel Devin berdering. Dia menatapku seakan-akan ingin meminta izin untuk mengangkatkan telepon.
Aku tersenyum menandakan memperbolehkannya.

Dia berdiri agak jauh dariku. Mungkin agar aku tidak mendengar apa yang dibicarakannya dengan sang penelpon.

"Maaf, aku harus segera pulang, ada urusan yang harus aku selesaikan." ucapnya yang sudah duduk di kursi depanku.

"Makanannya belum datang. Apa aku suruh pelayan sebentar untuk membungkus makanannya saja untuk kau bawa pulang?" tanyaku.

"Maaf Lia, tidak usah. Aku terburu-buru." jawabnya dengan beranjak berdiri.

Aku tersentak dia memanggilku dengan sebutan Lia. Biasanya orang-orang memanggilku Nata. Hanya ada satu orang yang memanggilku Lia. Dia... Ah lupakan. Aku tidak ingin mengingatnya.

"Tak apa, aku mengerti,"

"Aku benar-benar minta maaf. Lain kali aku yang akan mentraktirmu sebagai permintaan maafku." kata Devin.

Aku mengangguk dan melihat punggung Devin yang sudah meninggalkanku.

Lamunanku buyar karena ada yang menepuk pundakku.

"Aku mencarimu tadi. Mungkin kalau kau tak memberi pesan dimana kau berada, aku masih mencarimu sampai pagi," katanya terlalu berlebihan.

Tak lama kemudian pelayan restoran membawa pesanan makanan kami. Lebih tepatnya aku dan Devin. Tetapi dia sudah pergi.

Stay With Me, Vin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang