Part 1

3.2K 149 54
                                    

Pria yang mencintaimu, bukan mereka yang hanya mendengarkan apa yang kamu katakan. Tapi juga bisa memahami apa yang belum kamu katakan.

--Natalia Reagaan--

Tok..tok..tok.. Pintu kamar coklatku itu terketuk. Aku yang sedang duduk di pinggir ranjang mau tidak mau harus beranjak dan membuka pintu.

Tanpa berpikir panjang, akupun sudah tahu jika yang mengetuk pintu itu adalah Julia Kaitlyn, ibuku, lebih tepatnya ibu tiriku.

Setiap pagi dia selalu mengetuk pintu kamarku untuk membangunkanku, sangat perhatian bukan?

Sudah 4 tahun ini dia menjadi pengganti seorang ibu di rumah ini. Tetapi tetap saja, kedudukan Lauren Charlotte, ibu kandungku, tidak akan pernah tergantikan dihatiku.

Meskipun notabene dia ibu tiri, perilaku dan semua hal yang ada di dalam dirinya tidak seperti yang diceritakan pada kisah Cinderella. Ibu tiriku ini berperan sangat baik dalam cerita kehidupanku.

"Aku sudah bangun, bu. Tak perlu kau bangunkan aku setiap hari, karena aku sudah pasang alarm," kalimat pertama yang aku ucapkan setelah melihatnya di balik pintu.

"Aku hanya tidak ingin kau bangun telat lagi Natalia Reagaan. Tidak baik gadis sepertimu bangun siang," ucapnya dengan memanggil nama lengkapku.

"Segera bersihkan dirimu, aku menunggumu di ruang makan." katanya seraya meninggalkanku yang masih terdiam dibalik pintu.

"Hmmmm" gumamku sambil menutup pintu lalu mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi.

Setelah dua puluh menit membersihkan diri dan memakai baju, aku keluar kamar menuruni tangga untuk menemui ibu tiriku.

Disana ada tiga orang yang sedang memandangku.
"Apa ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada tiga orang yang ada di depanku sambil melihat kembali pakaian yang kupakai.

"Kau terlihat cantik pagi ini, Nata." puji Darwin Reagaan, ayahku.

"Kata-katamu membuatku merasa jelek di hari-hari sebelumnya, Ayah," kataku sambil mencium pipi ayahku.

"Sudahlah, kau selalu cantik kapanpun dan dimanapun. Cepat duduk dan nikmati sarapanmu!"

Aku tersenyum lebar kemudian duduk berada tepat disamping Willie Reagaan, kakakku satu-satunya.

Semuanya hening, hanya ada suara dentingan sendok menyentuh piring.

Setelah selesai menghabiskan sarapan. Aku membantu ibu untuk membawa piring ke dapur dan mencucinya.

"Nata, bolehkah ibu bertanya?" katanya sambil membawa piring bekas sarapan kami tadi.

"Tentu ibu. Kau boleh bertanya.Tak perlu seperti itu," jawabku dengan busa yang memenuhi kedua tanganku.

"Tetapi, pertanyaanku ini mungkin akan menyinggung perasaanmu."

Aku mendengus pelan seraya membasuh tanganku setelah selesai mencuci piring.
"Tak apa. Akan kujawab dengan senang hati, bertanyalah!"

Ibu terlihat seperti sedang menyusun kata-kata agar tidak menyinggung perasaanku.
Saat ibu memegang bahuku dan menatapku, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Terlihat call id tertera nama Tiffany disitu.

"Maaf ibu, kurasa pertanyaanmu itu harus tertunda karena Tiffany meneleponku." aku menatap ibu dengan rasa bersalah.

"Tak usah meminta maaf seperti itu, Nata. Kita bisa lanjutkan nanti," katanya dengan tersenyum ramah padaku.

Aku mengangguk kemudian meninggalkan ibu sendirian di dapur dan mengangkat telepon dari Tiffany, sahabatku dari kecil.

"Hallo, ada apa Tiffany?" tanyaku pada Tiffany diseberang sana.

"Apa kau sibuk hari ini? Aku berniat mengajakmu jalan-jalan."

Mengingat ini adalah hari Minggu, aku menyetujui ajakannya. Jarang sekali aku keluar rumah hanya untuk bersenang-senang. Menurutku itu hanya membuang waktu dan tenaga saja.

"Baiklah, kau yang menjemputku." kataku.

"Ok. Tunggu kedatanganku!" ucapnya kemudian menutup telepon.

Aku segera pergi ke kamar dan mengganti bajuku dengan celana jeans hitam dan kaos polos berwarna biru muda. Tak lupa aku memoles wajahku dengan make up yang tipis. Aku mengambil tas selempang dan memakai sepatu converse putih kesayanganku.

Tidak membutuhkan waktu lama agar Tiffany sampai ke rumahku, karena hanya berjarak dua kilometer saja. Tiba-tiba terdengar suara klakson dari depan rumahku. Pasti itu Tiffany, sahabat tomboyku.

Sesegera mungkin aku berjalan keluar dan menghampiri pemilik mobil Jazz merah yang sudah terparkir di halaman rumah.

"Aku datang Tiffany, suara klaksonmu itu membuatku harus berjalan terburu-buru," kataku sambil membuka pintu mobil di depan.

Tiffany hanya cengengesan dan langsung melajukan mobilnya dengan santai.

Hari ini kita akan pergi ke salah satu supermarket. Karena pada akhir tahun pasti banyak barang diskonan. Pasti Tiffany berniat untuk memborong semua barang-barang itu mengingat dia sangat suka dengan harga diskon.

Butuh waktu 30 menit untuk sampai ke supermarket. Aku dan Tiffany berjalan masuk menuju supermarket dan langsung berburu barang diskon.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka, hanya saja sahabatku ini terlihat bahagia. Meskipun dia bisa membeli semua barang tanpa harga diskon, karena ayahnya salah satu pemilik perusahaan terkenal di negara ini, tetapi dia sangat suka harga diskon.

Barang-barang yang dia beli tidak dia pakai, semua itu akan disumbangkan kepada panti asuhan yang selalu dia datangi.

"Cepat sedikit Nata, kita tidak punya banyak waktu." ucapnya sambil menoleh kepadaku yang ada dibelakangnya.

"Kau duluan saja Tiffany, aku akan pergi ke toko buku, nanti kita bertemu disini lagi setelah kau selesai dengan semua urusanmu itu" kataku dengan tersenyum.

"Baiklah, jangan menyesal karena kau memilih toko buku itu daripada aku," katanya sambil berjalan meninggalkanku.

Aku tertawa pelan mendengar ucapannya. Dia memang suka bercanda dan aku yang tertawa karena candaannya.

Sesampainya di toko buku, aku mencari novel romance. Aku mengambil novel pilihanku dan membawanya ke kasir. Sebelum sampai di kasir, aku sempat menoleh ke samping kanan dan melihat lelaki berkemeja kotak-kotak berwarna maroon.

Aku menggeleng-gelengkan kepala mencoba menghapus semua ingatan-ingatan di kepalaku.

"Mungkin, ini hanya perasaanku karena terlalu merindukannya." ujarku dalam hati dan melanjutkan untuk membayar novel.

Aku berjalan keluar dari toko buku itu untuk menemui Tiffany yang sudah menungguku di tempat yang tadi kami berpisah. Saat aku berjalan, tiba-tiba ada yang mencekal pergelanganku.

Sontak aku menoleh dan melihat siapa yang berani menghentikan langkahku.

Aku menatapnya dengan sangat terkejut. Mata coklatnya, hidung mancungnya, dan semua yang ada pada dirinya mengingatkanku pada seseorang yang telah meninggalkanku beberapa tahun yang lalu.

__________________________

Ini cerita pertamaku, mohon dimaklumi jika banyak typo dan cerita kurang menarik, membosankan, atau hambar.

Tinggalkan voment kalian ya.
Itu sangat membantu untuk kelanjutan cerita ini.

Aku nulisnya pake sudut pandang pertama :v Maaf ya..

Stay With Me, Vin!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang