Bab 3

23 3 0
                                    

Bara dan anak kelas dua belas

Bara duduk terdiam di kursinya. Kacamata berminus satunya menemani Bara untuk menatap rumus fisika di buku tulisnya.

Bara memang begitu. Jam istirahat bukannya makan tapi malah belajar atau pura-pura belajar. Entah hanya Bara dan tuhan yang tahu.

"Bara, kas lo, mau lo bayar kapan sih? Udah nunggak juga nih, nyadar dong lo" suara cempreng milik si perempuan galak itu menggelegar.

Bara merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar dua puluh ribuan. Dengan ganasnya si cewe itu merampas uang Bara.

Bara menghela nafas pelan. Membuka dompetnya dan melihat isinya.

Hanya ada uang sepuluh ribu, uang receh seribu, dan struk pembayaran dari mini market. Melihat tulisannya dan membaca isinya.

Bara lagi-lagi menghela nafasnya pelan. "Sejak kapan gue pake pembalut?" Gumannya pelan sambil melepas kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya.

"Kenapa lo?" Tanya Dimas yang muncul mendadak.

Bara lagi, lagi, dan lagi. Menghela nafas panjang. Bara mentang-mentang bisa menghirup nafas leluasa dengan hidung mancungnya semena-mena membuang nafas dengan jahatnya.

"Lo kenapa, tarik buang nafas, kek mamak mau ngeluarin oroknya"

"Gue butuh asupan gizi"

"Ya ayok, ke kantin. Jam habis inikan tempat lo kosong, lagian lo tadi dicariin Danang" Bara menatap Dimas bingung. Dimas mendecih kesal dan menarik kerah baju Bara.

"Lemot lo ah" Bara diseret layaknya kambing mau disembelih ke arah kantin.

Sudah tak punya uang, nemu struk membeli pembalut, dan terakhir digiring layaknya sudah berbuat zina dan langsung mau dinikahkan dadakan.

Memang benar kata Arkan, not bad luck Brian but bad luck Bara.

Bara hanya bisa meratapi nasibnya digiring ke kantin hanya dengan uang sepuluh ribu untuk satu minggu kedepan sampai menunggu gajian dari ayahnya.

Apalagi sekarang Bara harus jadi pusat perhatian.

Dasar Dimas brengsek. Geramnya dalam hati.

Sampai di kantin. Pasti taulah isi kantin bagaimana ramainya. Mereka membutuhkan asupan gizi yang banyak untuk belajar lagi.

Bara melihat empat kakak kelasnya melambaikan tangan ke Dimas dan Bara, ia melihat dalam keadaan melengak. Bara masih diseret menghadap belakang.

"Dimas, Bara bukan kambing." Jerit suara perempuan dari perkumpulan itu.

Dari bet namanya, Dia Ayana. Menurut Bara, kakak kelas satu ini cantik dan baik.

"Duileh, kalau sama yang dingin-dingin zimbabwe aja langsung kedip dua belas jari" sindir laki-laki dengan wajah orientalnya.

Bara dulu pernah tanya, ke kakak kelas bernama Danang ini, saat ditanya.

"Punya darah Cina?"

"Kagak"

"Jepang?"

"Kagak, darah gue merah. Gue campuran Jawa Barat 10 persen, Jawa Timur 40 persen, dan yang terakhir Jawa tengah 60 persen"

"Bar, lo kagak mesen makanan?" Tanya Handi, kakak kelas satu lagi.

Bara kembali teringat, kalau uangnya menipis, mau makan pun langsung habis pasti. Akhrinya Bara menggeleng.

"Lah, lo kata butuh asupan gizi tadi?" Tanya Dimas sambil memakan tempe goreng.

"Kalau lo bayarin gue makan"

"Anjay, monoton. Penghantar. Monoton. Bilang aja lagi melambai-lambai dompetnya bang. Minta ditabok aja" semua yang ada di sana tertawa ngakak karena penuturan nyablak dari Dimas.

Dimas berlalu dan memesankan Bara nasi kuning. Bara menghadap keempat anak kelas dua belas.

"Bar, makasih ya" Bara menatap Ayana bingung tapi tak ketara.

"Makasih buat lo udah bantuin gue buat ngasih tau 3 munyuk ini" Bara mengangguk dan masih memikirkan tentang pembalut dan dompet yang melambai-lambai.

"Nih, kagak usah lo ganti gue ikhlas" ucap Dimas yang sebenarnya setengah-setengah saat ia memberikan satu piring nasi kuning dan teman-temannya.

Bara mengangguk dan makan dengan lahap. Kelimanya menatap Bara ngakak sendiri karena Bara makan seperti belum makan 6 abad.

Dan dia Bara, anak cuek nan acuh tak acuh. Lebih memilih memakan nasi kuning sambil memikirkan

'Mengapa ia membeli pembalut?'

Akibat gabut mau ngapain. Jadi... jeng jeng....

Buat si Danang itu. Aku ambil contoh dari keluarga aku. Darah campuran nya dari 3 daerah.

Jangan lupa feedback nya teman. 😄

7 Desember 2016

InnocenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang