BAB 04

18 3 2
                                    

[Aku benci diriku]

"Deplore a certain it will not change"

K-will - I hate my self

Ardhan mendribble bola basket itu dengan lincah. Ia memutar-mutar tubuhnya dengan lihai membuat sang lawan terkecoh. Ardhan mendribble lalu memberikannya pada Wildan yang sudah berada di tempat three point.

Wildan menangkap bola itu dengan tanggap lalu mendribble bola itu dan langsung melemparkan bola basket itu ke arah ring. Bola oranye itu masuk dengan mudah. Sebuah peluit panjang menandakan pertandingan ini berakhir. Skor yang berada di papan menunjukkan bahwa SMA harapan bangsa unggul dari SMA Tunas harapan.

Ardhan dan Wildan berhigh-five sambil tertawa-tawa bersama. Diikuti oleh Angga,Bara dan Dimas. Mereka sudah membuktikan bahwa SMA harapan bangsa lebih unggul dibandingkan dengan rival mereka yaitu SMA Tunas harapan.

Rezha yang notabene nya adalah ketua tim basket SMA Tunas harapan menghampiri mereka berlima.

"Lo semua boleh ketawa-ketawa karena kemenangan lo. Tapi,inget di pertandingan selanjutnya SMA Tunas harapan yang akan menang"

Angga mencibir. "Yaiyalah,mulut-mulut siapa bang?"

Bara tertawa. "Lagian yang kalah mah emang suka sirik terus ngomong omong kosong yang belum tentu bakal terjadi"

"Kita gak bakal omong kosong lagi! Inget itu!" Teriak Rian sambil memberi kode kepada teman-temannya untuk segera pergi.

"KITA LIAT AJA NANTI!" Pekik Wildan yang mulai kesal.

Setelah itu mereka berlima menuju tempat tribun penonton yang memang kosong. Pertandingan ini memang bukan untuk meraih piala atau apapun. Pertandingan ini tentang harga diri SMA Harapan bangsa di mata SMA Tunas harapan yang selalu menjelek-jelekkan sekolah mereka dengan embel-embel kalau sekolah mereka tidak mempunyai anggota dengan keahlian basket yang profesional.

Dan sekarang,mereka telah membuktikan fakta sebenarnya; bahwa SMA Harapan bangsa mempunyai anggota basket dengan keahlian profesional.

"Ayok ah bro! Kita makan-makan di kafe tante gue!" Pekik Bara sambil menggantungkan tas nya di bahu. Diikuti oleh ke-empat sahabat nya.

• • •

"Ardhan!"

Ardhan menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya.

Levita berjalan menuju ke arah meja makan nya di kafe Dark Velvet. Teman-teman nya sudah bersiul-siul sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Levita--cewek famous di sekolah nya.

"Hai Ar!" Levita tersenyum manis. Sedangkan Ardhan hanya meliriknya sekilas lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada latte macchiato favorit nya.  "Apa gue boleh duduk?"

Keempatnya sahabat nya mengangguk mengiyakan. Namun yang lebih cepat menjawab nya adalah Bara. Karena mereka semua tahu kalau Bara sudah jatuh cinta dengan Levita dari sejak SMP. Tapi mereka juga tahu jika Levita hanya menyukai Ardhan. Dan Bara--tidak mempermasalahkan hal itu.

"Gue denger--kalian menangin taruhan itu ya?"

"Iya" jawab mereka kompak.

"Umm,gue turut seneng ya. Akhirnya,mereka tahu juga kalau SMA kita tuh lebih unggul daripada mereka" Mereka berempat hanya berdehem santai. Sedangkan Bara sudah mengucapkan terima kasih atas dukungannya. "Makasih ya Vit,lu tuh baik banget deh"

Levita hanya tersenyum simpul.

"Oiya,itu lo minum apaan?"

Ardhan menunjuk minuman nya. "Ini?" Levita mengangguk antusias. "Emangnya kenapa?"

"Gak,gue cuman pingin samaan aja minuman nya kayak elo"

Ardhan mendecak kesal. "Gue udah bilang beberapa kali Vit! Lo itu gak harus ngikutin semua yang gue suka. Jadi diri sendiri aja dan inget--gue benci itu!" Tukas Ardhan sambil mengambil tas nya dan keluar dari kafe.

"Tapi,gue suka sama lo Ar" Levita menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Bara terenyuh melihat Levita menangis. "Udah Vit,mending lo--"

"Gak usah sok peduli sama gue Bar,gue tau kalo lo itu suka sama gue,dan mungkin karena itu Ardhan jadi ngejauhin gue!"

Bara tersenyum kecut. "Mungkin"

• • •

Ardhan mengusap nisan bermamer hitam itu. Ia menatap sendu gundukan bermamer hitam yang sudah dipenuhi rumput hijau di tengah-tengah nya. Ia diam sambil terus mengusap nisan itu dengan tangan yang bergetar.

Nisan itu bertuliskan nama: Merlyn Raina Handoko Binti. Abi Handoko. Tanggal lahir: 24 Juni 1978 dan Wafat: 17 Maret 2014

Ia terus menatap nisan itu tanpa mengeluarkan air mata ataupun sepatah kata pun. Lidahnya kelu untuk mengucapkan sebuah kata. Seperti ada yang membungkam mulutnya.

"Ma.." Lirihnya. Hanya satu kata saja yang bisa ia ucapkan.

Ia tidak ingin menangis karena meski ia menangis darah sekalipun. Semuanya tidak akan merubah apapun. Dan fakta yang menyakitkan adalah penyesalan memang selalu datang terlambat.
Ardhan meletakkan bunga mawar nya di makam itu. Sebelum itu ia mengusap nisan itu dengan lembut. Ardhan memejamkan matanya dan tak lupa melantunkan doa.

Ardhan memejamkan matanya--karena rasa bersalah nya di masa lalu semakin membuat nya terluka.

Ardhan membenci dirinya sendiri.

• • •

TO BE CONTINUED

Bab ini emang sengaja nyeritain tentang Ardhan. Masih teka-teki ya? Tunggu aja. Dan emang sengaja pendek.

See you,

03 Desember 2016

Veragartika

 

WeightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang