11. Mengunci Ingatan

Mulai dari awal
                                    

"Bi, ini beneran?" Malya berusaha keras untuk tidak berteriak atau meloncat-loncat sekarang.

Abimanyu menggangguk, "Selamat, Malya. Om Dika pasti bangga banget sama kamu."

"Ta-tapi, Bi, ini aku nggak lagi mimpi, 'kan? Ini National Gheographic, Bi, demi Tuhan." Malya memekik girang, tidak dipedulikan lagi keadaan restoran yang sangat ramai. Fotografer mana pun akan merasa senang jika foto mereka dijadikan cover untuk majalah National Gheographic. Iya, ini majalah fotografi bergengsi kelas dunia dan sekarang foto Malya yang menjadi cover majalah tersebut. Untung saja Malya tidak pingsan saking senangnya.

"Bi...ya ampun...Bi, aku nggak tahu harus bereaksi kayak gimana."

"Tarik napas Malya, kamu akan mati kalau nahan napas gitu."

Malya mendengus sebal, tetapi dia tetap mengikuti perkataan Abi untuk meghirup udara sebanyak-banyaknya. Netranya beralih pada cover majalah yang memperlihatkan portrait wanita tua dengan kulit kehitaman, dan kedua tangan yang terangkat ke arah kamera. Memperlihatkan ruas-ruas jarinya sudah tidak utuh lagi. Foto itu diambil Malya beberapa bulan yang lalu di Papua, tepatnya di Suku Dani. Ada ritual khusus yang dinamakan iki palek, yaitu tradisi memotong jari mereka setiap kali ada anggota keluarga mereka yang meninggal. Tradisi itu menunjukkan bagaimana rasa cinta dan kesetian mereka.

"Makasih banyak ya, Bi."

Entah kenapa tiba-tiba saja Malya diliputi perasaan emosional, dia jadi ingat akan ayahnya. Lelaki yang mengenalkannya dengan fotografi pertama kali. Dadanya terasa sesak karena perasaan haru.

"Al, jangan nangis gitu dong. Aku jadi merasa bersalah nih."

Malya mengerjap, ternyata tanpa sadar ada air mata yang mengalir dipipinya, buru-buru dia menghapus air matanya dan tersenyum ke arah Abi. "Ini air mata bahagia, Bi!"

"Kalian para perempuan itu terlalu sentimentil. Sedih, nangis, bahagia juga pake acara nangis segala." Lelaki itu geleng-geleng kepala. "Sebagai ucapan terima kasih. Kamu cukup bayar makanan ini ya, Alya. Dan besok temenin aku ke festival kopi flores," ucap Abi, diiringi senyuman miring.

Malya menatap Abimanyu dengan pandangan tidak percaya, ternyata lelaki itu hanya memperalat Malya. Mengangkatnya dengan berita bahagia dan detik berikutnya menghempaskannya dengan kejam. "Bi, seharusnya aku nggak mengiyakan ajakan makan siang kamu ini!" seru perempuan itu, jengkel.

"Uang kamu nggak akan habis dengan membayar makanan ini, kok." Dan pecahlah tawa Abimanyu. Senang sekali rasanya mengerjai Malya. Perempuan itu memberengut sebal. Suara tawa lelaki itu menjadi sangat menyebalkan untuk Malya sekarang.

"Sialan kamu, Bi."

"Sama-sama, Malya, sama-sama."

***

Seharusnya Malya menolak ajakan lelaki di hadapannya ini dan meminta Abimanyu mengantarnya pulang. Seharusnya Malya tidak pernah berada satu ruangan dengan lelaki ini lagi.

Seharusnya....

Malya menarik napas dan mengembuskannya dengan kasar. Dia mengepalkan kedua tangannya yang sejak tadi gemetar. Dalam hati Malya menghitung sampai tiga lalu menatap Dariel yang sekarang sedang balik memandangnya. Tatapan penuh penyesalan Dariel, seketika membuat perut Malya mulas. Pandangan memohon itu membuat Malya muak.

Malya tidak perlu merasa repot dengan menyembunyikan tatapan penuh kebencian miliknya. Sudah hampir lima belas menit dan belum ada percakapan di antara mereka berdua. Sesekali Dariel mengusap bagian belakang kepalanya, gugup.

"Malya, aku tahu ini sangat terlambat. Tapi aku benar-benar mau minta maaf sama kamu. Aku menyesal." Dariel berkata dengan sungguh-sungguh.

Salah satu sudut bibir Malya terangkat, dia tersenyum sinis. "Maaf? Apa baru sekarang kamu merasa bersalah, El?!"

"Karena kamu selalu menghindari aku, Malya," ucap Dariel frustrasi. Dia mengusap wajahnya kasar.

"Seingatku terkahir kali kita bertemu, kamu membuat aku menjadi pembunuh."

"Aku minta maaf, Malya. Seharusnya aku nggak pernah melakukan hal itu sama kamu dan Ghazy."

Satu tangan Malya terangkat ke udara. Malya mendesis kesal. "Jangan pernah mengucapkan nama Ghazy, El!"

"Aku harus apa, Malya, aku harus apa biar kamu mau maafin aku?"

"Lompat dari lantai tiga puluh, apa kamu bisa?" tukas Malya tajam.

Dariel tertegun untuk beberapa jenak. Dia meremas tangannya, menghilangkan rasa gugup yang seketika menguasainya. "Tapi, Malya, itu terl—"

"Kenapa? Nggak bisa ya?" Malya tertawa hambar. "Kamu nggak pernah benar-benar meminta maaf, El. Kamu melakukan itu hanya untuk meringankan rasa bersalahmu."

"Aku serius minta maaf sama kamu, Malya. Dan asal kamu tahu, aku nggak akan melakukan hal itu jika bukan kamu orangnya. Aku cinta sama kamu Malya. Dan Gha—"

Kata-kata Dariel terhenti begitu saja setelah lelaki itu mendapatkan tamparan keras di wajahnya.

"Kamu pria paling brengsek yang pernah aku tahu!"

Malya mendorong kursinya dengan kasar, dia baru akan melangkah ketika pergelangan tangannya dicekal oleh Dariel.

"Maaf, Malya, aku minta maaf. Jangan buat aku menanggung rasa bersalah ini terus-menerus. Aku mohon." Suara Dariel bergetar. Lelaki itu memberikan tatapan penuh penyesalannya.

"Kamu menyesal, El? Teruslah hidup dengan rasa bersalah itu. Karena aku tidak akan pernah memaafkan kamu." Malya menarik napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap Dariel yang terlihat sangat menyedihkan di hadapannya. "Aku bukan orang baik. Tidak... aku sama sekali nggak menyalahkan kamu atas persitiwa itu. Ini semua salahku karena membela kamu di depan Ghazy." Dengan gerakan kasar Malya menyentak tangannya dan meninggalkan Dariel yang masih terpaku.

Malya menyetuh dadanya, rasa sesak itu kembali lagi, menghimpit paru-parunya dan membuatnya sulit untuk bernapas. Untuk kesekian kalinya ingatan tentang dia dan Ghazy kembali memenuhi ingatannya. Memori yang selama ini susah payah disembunyikan olehnya, kembali muncul kepermukaan. Terlihat nyata dan pekat. Dan detik itu juga Malya merasa dirinya merindukan Ghazy.

***

Catatan Nggak Penting.

Ada yang kangen sama Mz Jendra? Eya, dianya nggak muncul tapi. 😂

Terima kasih buat kalian yang masih sabar nunggu.

kalau ketemu typo, silakan dikomentari ya.

Salam,

Sarah.

LoslatenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang