"Hai," sapanya lagi.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Ada sesuatu yang sangat istimewa dalam diri cowok ini---sesuatu yang matang... intens... berbeda.... Pendek kata, dia memiliki gaya yang unik. Dia memiliki jiwa. Dia salah satu cowok tercanggih yang pernah aku kenal. Kejadian di supermarket kemarin memang sempat membuatku bingung beberapa menit, tapi kali ini aku tahu aku benar. Tidak salah lagi, ini lah Dia! Dengan senyum yang begitu menawan, bagaimana mungkin aku bisa keliru? Jantungku kontan berhenti berdetak.

"Kau mau memesan makanan untuk dibawa pulang?"

Senyumnya semakin cerah. Aku nyaris pingsan terkena serangan jantung.

Tanpa sadar aku pasti mengangguk, karena cowok itu lantas meraih notesnya. Mau rasanya aku mengorbankan apa saja untuk bisa menjadi buku itu, disentuh tangan kokohnya.

"Nama?"

Kupandangi dia. Otakku begitu sibuk memikirkan tangannya itu hingga aku tadi pasti salah dengar. Tidak mungkin kan dia menanyakan namaku? Masa sih dia ingin tahu siapa nama ku?

"Nama keluargamu pun boleh," katanya lagi.

"Untuk pesananmu."

****

Tidak banyak yang kuingat dalam perjalanan pulang dari Chez Moi. Ibuku bertanya macam-macam tentang restoran itu---banyakkah pengunjungnya? Apakah makanannya kelihatan enak? Benarkah restoran itu semewah yang dia kira?--- tapu aku hanya menjawabnya secara otomatis saja.

"Ehm," jawabku.

"Entahlah... kurasa begitu..."

Pikiranku tertuju pada hal-hal lain. Seberapa besar probabilitas matematis kami pergi ke tempat itu pada saat yang tepat. Bagaimana salah satu sudut bibir cowok itu terangkat saat dia tersenyum. Pada takdir. Bagaimana takdir mengambil alih hidupku. Takdir menuntunku ke nasib yang telah digariskan untukku.

Aku mengikuti Mom masuk ke dapur. Apa lagi coba kalau itu bukan Takdir namanya?

"Ayam!" Pekik ibuku.

Dia berdiri di depan meja, memandangi wajah berlapis aluminium yang ada di tangannya.

"Bagaimana sih, kok isinya ayam!"

Keluhannya nyaris terdengar seperti erangan.

"Mereka pasti memberikan pesanan yang keliru padamu."

Aku masih berdiri di ambang pintu, memikirkan Dia. Tadi Dia tersenyum padaku. Bukan cuma satu kali, atau bahkan dua-tiga kali, tapi empat kali. Dua kali waktu menanyakan aku hendak pesan apa. Satu kali waktu aku kesulitan melafalkan nama menu yang aku inginkan. Dan satu kali waktu dia memberikan pesanan itu padaku dan memintaku kembali lagi ke sana.

"Kembali lagi ke sini ya," kata cowok itu dengan suaranya yang empuk dan hangat. Aku bisa merasakan senyumnya di wajahku, bagaikan ciuman hantu.

"Kau dengatmr tidak, Zara?" Tanya ibuku.

"Kita harus kembali ke sana. Pelayan goblok itu memberikan pesanan yang keliru padamu."

Aku sama sekali tidak mendengarnya. Maksudku, aku tahu sedari tadi Mom ribut berbicara, dan aku tahu dia pastu berbicara padaku, karena satu-satunya makhluk lain di rumah ini selain aku hanyalah Leonardo, kura-kura daratku, sementara dia tidak ada di dapur. Tapi, tetap saja aku tidak benar-benar mendengar ocehannya. Bagaimana mungkin aku bisa mendengar ibuku bila jantungku berdebar-denar tidak karuan? Sekarang jantungku tidak lagi diam, tapi melonjak-lonjak seperti katak sinting.

Aku mengerjapkan mata.

"Apa?"

"Mereka memberikan pesanan yang salah kepadamu," ulang ibuku.

Dia melambaikan tangannya ke wadah-wadah yang dia keluarkan dari tas Chez Moi yang berwarna hitam-perak.

"Tidak mungkin itu pesanan kita. Isinya ayam. Kita harus kembali ke sana."

Kita harus kembai ke sana...

Lagi - lagi jantungku melonjak.

Kita harus kembali lagi ke sana...

Aku akan bertemu lagi dengan dia...

Dan karena aku baru saja dari sana, Dia pasti ingat denganku. Kali ini kami akan saling menyapa seperti orang yang sudah lama saling kenal. Kali ini Dia mungkin akan menanyakan hal lain padaku selain apa yang ingin aku pesan.

........

Next??

The Boy of My Dreams (END) Where stories live. Discover now