Part 6

26 8 0
                                    

     "Takdir akan membawamu bertemu dengannya. Kau tinggal tunggu saja."

     ......

     Aku paling tidak suka menunggu. Ibuku pernah berkata ketika Tuhan membagi-bagikan kesabaran, aku sudah pergi meninggalkan ruangan.

     "Tapi bagaimana kalau aku tetap tidak bertemu dengannya?" Tanyaku ngotot.
     "Apa yang akan terjadi kemudian?"

     "Kau pasti akan bertemu dengannya," tegas Salsa yakin. Dia membuka pintu toko Video World.
     "Semua orang pasti bertemu pasangan hidupnya."

     Aku masuk toko mengikuti Salsa.

     "Tapi ibuku tidak," bantahku.

     "Ibuku malah bertemu ayahku."

     Salsa mendesah.

     "Oh, demi Tuhan, Zara. Pada awalnya mereka saling mencintai, bukan? Mereka menikah. Lalu mereka punya kau. Hubungan mereka tidak harmonis, itu saja."

     Pintu menutup di belakang kami.

     "Takdir memang terkadang sulit," ucap Salsa.

     Bukannya berbelok ke kiri, ke daerah Film Asing, seperti yang seharusnya dia lakukan, Salsa malah berjalan lurus memasuki lorong tengah.

     Aku bergegas menyusulnya.

     "Mau ke mana kau? Seharusnya kita tidak ke sini."

     Salsa dan aku memiliki sistem yang kami ciptakan sendiri. Setiap minggu, kami menonton film dari kategori yang berbeda. Tapi kami tidak pernah menonton film dari kategori Thriller , Kung Fu, Perang, Action , atau Horor. Kami ogah nonton film-film sampah. Film adalah satu dari sedikit hal yang sama-sama kami sukai. Aku vegetarian tapi Salsa suka makan daging; aku suka reptil, Leonardo da Vinci, dan Crazy Horse; Salsa lebih memilih Gregg Toland dan Che Guevara; aku hobi mendengarkan rock-and-roll di stereoku, sementara Salsa memainkan karya-karya Mozart di biolanya. Dan sekalipun kami membaca buku yang sama atau mendengarkan lagu yang sama, kami jarang memiliki pendapat yang sama mengenainya;  tapi untuk urusan film, kami selalu sependapat. Salsa ingin jadi juru kamera, sementara aku sutradara--- kecuali bila aku jadi ahli hewan reptil. Jadi, acara nonton video bagi kami hukumnya wajib.

     "Minggu ini kan giliran kita nonton film asing yang menggunakan teks terjemahan," kataku mengingatkan Salsa.

     Salsa berjalan trus melewati bagian Film Terbaru, Keluarga, dan Drama.
     "Menurutku kau perlu sedikit meredakan ketegangan," kata Salsa memberitahuku.
     "Dan di samping itu, aku akan membuktikan padamu pendapatmu salah."
    
     Dia berhenti di rak yang memajang film-film kategori Komedi Romantis.

     "Tidak bakal berhasil," aku memperingatkan dia.
     "Ini kan cuma film, Salsa. Film-film itu tidak membuktikan apa-apa. Banyak sekali kejadian di film yang tidak pernah terjadi padaku: Ibuku tidak pernah memberi kejutan dengan menghadiahkan telepon sendiri; aku tidak pernah menang lotere; aku tidak pernah menyelamatkan nyawa siapa-siapa; dan tidak pernah ada makhluk luar angkasa yang mampir ke rumahku untuk sekedar ngobrol."

     Lagi-lagi Salsa tidak sependapat.
     "Seni mengimitasi hidup, Zara," katanya sambil mengamati judul-judul film.
     "Jangan lupa itu. Jadi bukan sebaliknya."

     Sambil terpekik penuh kemenangan, dia merenggut sebuah video dari rak dan mengulurkannya melalui pundaknya kepadaku.

    "Kalau begitu, jangan cari film yang berjudul Sleepless in Seattle dong," sanggahku sambil mengambil film itu dari tangannya.
     "Lebih tepat kalau kita mencari film yang judulnya Bete dan Jomblo di California Utara."

*****

     Pukul 20.00, orang tua Salsa pergi. Mereka pergi sambil berdebat. Mereka sudah berdebat sejak kami pulang membawa video pinjaman.

     Pertama, karena Mr. Perez tidak menurunkan tirai jendela, padahal dia sudahberjanji. Kemudian karena Mrs. Perez membuat semua pakaian dalam Mr. Perez berubah warna menjadi biru saat mencucinya. Berikutnya, karena Mr. Perez ogah main kartu malam itu, dia kepingin di rumah saja dan menonton pertandingan bola di televisi.

     Sambil naik ke mobil, keduanya masih saling berteriak-teriak. Kata Salsa, sebenarnya mereka tidak bertengkar. Tapi itu karena mereka berdua sama-sama berasal dari Amerika Selatan. Orang-orang Amerika Selatan memang biasanya bertemperamen keras dan meledak-ledak.

     Begitu mobil mereka meninggalkan halaman rumah, kami langsung membentangkan  sofa bed , mengeluarkan camilan dan minuman ringan, lalu menyalakan video. Setelah menghabiskan dua kantong kripik, semangkuk saus celupan, sekartonjus apel, beberapa potong cookies coklat, dan nonton dua film yang dipilih Salsa --- Sleepless in Seattle dan Moonstruck--- aku mulai merasa optimis. Memang sih, itu cuma film. Tentu, hal-hal yang terjadi di film tidak selalu terjadi di dunia nyata, tapi Salsa benar. Seni memang mengimitasi hidup. Itu benar karena ada alasannya. Bila manusia tidak jatuh cinta, tidak mungkin mereka membuat film atau menulis lagu tentang cinta.

     Sambil membisu, kami memandangi layar televisi sampai daftar nama semua pekerja film yang terakhir lenyap dari kaca. Salsa menekan tombol rewind , mematikan video, dan menghempaskan badan ke bantal sambil mendesah dengan suara yang keras.

     "Kau lihat, kan?" Desahnya.
     "Jodoh... takdir..."

     Layar televisi kini kosong melompong, tapi sepertinya aku masih bisa membayangkan Cher melangkah menuruni tangga ruang bawah tanah, bagaikan malaikat turun ke neraka. Rasanya aku masih bisa melihat Nicolas Cage berpaling dari depan oven. Aku masih bisa melihat mata mereka bertemu persekian detik.

     "Aku tidak percaya sesuatu yang seromantis itu bakal terjadi pada diriku," bisikku.

     "Tentu saja itu bisa terjadi," tukas Salsa.
     "Itu tidak ada hubungannya dengan keberuntungan, Zara. Tapi hidup seseorang."

    Takdir... ayah dan ibuku berjumpa di lift. Ayahku ketinggalan kunci mobil dan tergesa-gesa kembali ke lift untuk naik kembali dan mengambilnya. Sementara ibuku tiba lebih awal di tempat kerjanyan. Mereka takkan pernah bertemu--- yang bila mengingat bagaimana akhir dari pertemuan mereka, mungkin lebih baik begitu--- tapi yabg jelas, hari itu mereka bertemu. Ayahku menerobos pintu lift yang hendak menutup. Ibuku menjatuhkan tas peralatan yang dibawanya ke kaki ayahku. Ayahku berteriak kesakitan. Ibuku terburu-buru meminta maaf. Mata mereka bertemu. Lagi-lagi takdir bicara.

     Salsa mematikan lampu.
     "Itu akan terjadi di saat yang paling tidak kau sangka-sangka," katanya dalam gelap.
    
     "Begitulah biasanya cinta muncul."

.......

Oke, Next..?

The Boy of My Dreams (END) Where stories live. Discover now