Part 3

44 11 0
                                    

Hello readers!

Sorry cerita ini part 3 nya author review dan di re-publish yaa,
Soalnya menurut author cerita yang sebelumnya rada gak nyambung dan terlalu pendek hehe:3

Terimakasih yang sudah setia membaca cerita ini
*politely*.

Oke, oke, kita lanjut baca nya yukks 

****

Zara's prov

     "... Penjelasan Rian membuat ku mengantuk."

~~~~~

    Robby tersenyum mengejek. "Kau bukan melamun, karena perhatianmu tertuju pada--" nada suaranya juga mengejek-- "a possibility of young manhood-- sekelompok calon pria dewasa di luar sana."
    Aku bisa merasakan pipiku memerah. Ada saat aku berharap potongan rambut ku tidak sependek ini, supaya aku bisa menyembunyikan wajah ku di blik rambut, dan inilah salah satu di antara saat-saat itu. Karena tidak bisa, maka ku dorong saja Robby.  "Untuk ke seratus kalinya ku bilang, aku tidak sedang memandangi mereka. Aku cuma melamun."

     Robby mengedipkan mata.

     "Sudah ku bilang padamu, Zara, kau tidak perlu kuatir. Aku bersedia kok menikah denganmu kalau kau ternyata jadi perawan tua." , ujarnya.

     Itu kesepakatan yang kami buat musim panas tahun lalu. Bila kami berdua masih melajang hingga usia tiga puluh tahun, kami akan menikah saja.
     Dulu, waktu Robby masih kecil, dia mengira Tuhan menciptakan manusia dalam golongan-golongan. Kau tahu, golongan diktator dalam satu kumpulan, dan golongan pecinta alam seperti aktivis Greenpeace dalam satu kumpulan. Lalu Tuhan menyebarkan orang-orang itu ke bumi dalam waktu yang berbeda-beda. Tapi kau pasti bisa mengenali seseorang yang segolong denganmu. Robby berpendapat dia dan aku pasti berasal dari golongan yang sama. Katanya, itu berarti berarti paling tidak kami bisa bersenang-senang bersama. Aku agak kaget juga waktu mengetahui ternyata Robby belum melupakan kesepakatan kami itu.

     "Kau sendiri yang bilang Mr. Rian itu obat tidur berjalan," aku mengingatkan Robby. "Kau sendiri yang mulai mendengkur begitu Mr. Rian membacakan adegan balkon dari Romeo and Juliet."
   
     "Itu karena Romeo and Juliet membuat ky bosan setengah mati, lebih dari pada basket," dalih Robby. "Sepasang remaja konyol." Robby tertawa.
     "Begitu Romeo melihat cewek dengan peringatan 'Berbahaya! Jangan Dekat-dekat!' Terpatri di dadanya, eh, dia malah langsung jatuh cinta. Itu kan konyol, Zara. Bagaimana mungkin kau bisa kau bisa jatuh cinta pada orang yang sama sekali tidak kau kenal? Kalau mau jatuh cinta, ya dengan orang yang kita kenal dong."

     "Pelan sedikit kenapa sih?" Desisku. "Semua orang memerhatikan kita."

     "Semua orang memang selalu memerhatikan kita," balas Robby riang.   

    "Itu karena kita pasangan yang sangat mencolok." Dia merangkul pundakku dan mendekatkan kepalanya ke kepalaku.
  
    "Kau dengan matamu yang tajam seperti mata tukang sihir, dan aku dengan kegantengan darah campuranku."

     Tidak benar mataku seperti mata tukang sihir, mataku cuma besar dengan dua warna biru yang berbeda. Tapi memang benar bila Robby memiliki kegantengan yang khas dari darah campuran nya. Atau paling tidak, penampilan khas darah campuran. Orang selalu berasumsi Robby pasti berdarah separo Indian karena rambutnya yang hitam dan kulit nya yang tidak begitu putih, serta profil wajahnya yang tajam. Itu memang benar. Hanya, seperti kata Robby, "Bukan orang Indian yang menunggang kuda poni, tapi orang Indian yang beternak sapi."

     Aku menepiskan lengannya yang merangkul pundakku. "Asal tahu saja", tukasku dingin. "Memang begitulah kejadiannya. Cinta pada pandangan pertama."

     "Kau memcampuradukkan cinta dengan cacar air," kata Robby. Dia memandangiku dengan tatapan menyelidik. "Pasti gara-gara pengaruh hormon," katanya dengan nada pura-pura serius. "Kau sudah berubah, Zara. Padahal dulu kau juga menganggap Romeo and Juliet konyol, sama seperti aku."

     Diam-diam, dalam hati sesungguhnya aku juga ingin tahu apakah perkataan Robby tentang hormon itu benar. Memang baru akhir-akhir ini saja aku tidak bisa berhenti berpikir tentang jatuh cinta. Taoi aku ogah mengakui hal itu kepadanya.sejak kami masih kecil, aku membicarakan segalanya dengan Robby, tapi belakangan entah kenapa, aku merasa tidak nyaman berbicara dengannya tentang hal seperti cinta. Apalagi bila separo isi sekolah ikut mendengarkan. Aku bergegas mendahului Robby melewati pintu. "Itu namanya ber-kembang." Kataku padanya sambilberpaling. "Seharusnya kau mencobanya juga sekali-kalli

....

     Salsa sudah menunggu kami di depan gedung sekolah. Bila Robby teman akrab ky sejak SD, Salsa teman akrabku sejak SMP. Hari ini aku senang sekalinya melihatnya, lebih
Daripada biasanya. Salsa sependapat denganku dalam hal cinta. Suara kami berdua mengalahkan suara Robby.

    "Kenapa kalian lama sekali?" Tuntut Salsa. Kalau ada yang  penampilan nya mirip tukang sihir, maka orang itu Hope, bukan aku. Rambutnya hitam sekali hibgga nyaris yerlihat hitam. "Aku sudah jamuran menunggu kalian."
     
     Kuputar bola mataku.
     "Robby sibuk menjelaskan kepadaku dan semua orang lain disekolah pendapatnya tentang Romeo and Juliet."

     Robby ikut-ikutan memutar bola mata.
     "Dan Zara sibuk menjelaskan arti cinta kepadaku," tukas Robby.
     "Rupa-rupanya menurut dia, cinta bukanlah sesuatu yang bertumbuh, seperti tanaman, tapi sesuatu yang lebih mirip tertembak peluru nyasar."

     Salsa melingkarkan lengannya di lenganku.
     "Tidak bosan-bosannya kalian berdebat ya?" Dia tertawa.
     "Kalian hampir sama parahnya dengan orangtua ku."

     Aku melingkarkan lenganku di lengan Robby.
     "Aku tidak akan mendebatnya bila ia tidak keliru."

     "Dan aku tidak bakal mendebatnya bila otak Zara tidak sedang dikuasai hormon," sergah Robby sementara kami mulai berjalan beriringan.

     Salsa pura-pura mengerang.
     "Mudah-mudahan kalian tidak berniat terus menerus berdebat semalaman. Minggu ini benar-benar berat bagiku. Aku ingin bersantai sejenak."

     Hari itu hari Jumat, saatnya bersantai. Setiap Jumat semenjak kami bersahabat karib, Salsa dan aku selalu menghabiskan malam itu bersama. Minggu ini di rumah Salsa, minggu depannya di rumah ku. Sejak kami bertiga mulai bersahabat di awal tahun ini, Robby sering bergabung dengan kami untuk menonton film. Dengan adanya Robby, kami baru bisa benar-benar rileks bila di sudah pergi---kau tahu, menggelar sofa bed dan mengganti  baju dengan piama; dan kau harus lebih sigap bila ingin makan lebih dari dua keping kripik kentang---tapi walau bgaimanapun, keadaan tidak terlalu jauh berbeda bila aku hanya berdua dengan Salsa.  Bahkan, bisa dibilang kami lebih banyak tertawa bila ada Robby. Jumat benar-benar hari yang paling mengasyikkan sepanjang minggu.

     "Silakan saja kalau kalian ingin bercengeng-ria dan bersikap sentimentil malam ini," tukas Robby.
     "Aku tidak bisa ikut. Aku harus latihan." Meski masih terlalu muda untuk mendapat order manggung sungguhan, tapi Robby sudah punya band sendiri. Dia menjadwalkan bandnya berlatih seminggu sekali supaya mereka bisa siap bila suatu saat nanti order manggung benar- benar datang.

     Salsa memandanginya.
     "Mungkin kalau kau tidak memainkan musik blues melulu, pandanganmu terhadap cinta tidak akan negatif begitu," godanya.

     "Dan mungkin bila kau melulu hanya memainkan musik blues, kau bisa menasihati Zara agar mau berpikir waras."

     Robby menyunggingkan senyum padanya.

     "... dan bukannya malah menanggapi khayalannya yang tidak-tidak."

--------------
Next... ?

The Boy of My Dreams (END) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin