Part 9

28 8 2
                                    


"...pokoknya asal aku bisa makan."

~~~~~

Zara's prov

Restoran itu bernama Chez Moi. Letaknya di rumah besar bercat biru dengan menara kecil dan teras di sepanjang sisi depannya. Ibuku berhenti di dekat pintu. Dari dekat, restoran itu bahkan terlihat jauh lebih mewah lagi. Di lapangan parkir berderet mobil mewah yang masih baru. Bila ada orang yang melihat mobil kami parkir di sini, mereka mungkin mengira kami datang untuk memperbaiki keran yang rusak.

"Masuk sana dan pesankan makanan," perintah ibuku.

"Aku?"

Aku berpaling pada Mom supaya ia bisa melihat ekspresi menderita di wajahku.

"Aku tidak bisa masuk ke sana! Bajuku saja usang begini."

Dan kotor lagi, karena sepagian tadi aku sibuk menelungkup di tanah, merogoh-rogoh liang tikus mondok.

"Menurutku, tidak ada aturan kau harus pakai baju apa bila hendak memesan makanan di restoran untuk dibawa pulang, Zara," sergah ibuku.

"Aku tidak mau memastikan mesin mobil bila memang tidak perlu. Jangan kau kira bila di mal tadi mesinnya mau menyala, maka akan menyala lagi di sini."

"Aku bisa menunggu di sini dan---"

"Apa saja yang akan kau pesan, pesankan sekalian untukku," sela ibuku tegas.

Bagian dalam Chez Moi sengaja ditata hingga menyerupai bistro di Paris. Penyanyi Prancis melantunkan lagu cinta berbahasa Prancis di CD Player . Aku tahu itu pasti lagu cinta karena penyanyiannya berulang kali menyebut kata "amour" dan suaranya begitu mendayu-dayu, sarat emosi. Separo dindingnya dilapisi panel kayu dan dicat dengan warna cokelat tembakau gelap.

Meja-mejanya diberi taplak kotak-kotak dan dihiasi lilin. Semua pelayannya mengenakan celana panjang hitam, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu. Chez Mou mengusung slogan "Cita rasa Paris di Red Wood", kedengarannya agak konyol menurutku. Waktu aku masuk ke sana, semua orang memandangku seolah aku baru turun dari pesawat luar angkasa. Celana jinsku yang robek-robek dan baju kaus bergambar iguana yang di desain khusus oleh Robby untukku sebagai hadia ulang tahun jelas tidak cocok dikenakan di Paris-nya Redwood.

Aku mengambil menu dari meja kasir yang terletak di bagian depan dan meneliti isinya sembari menunggu seseorang datang untuk mencatat pesananku. Dugaanku benar. Semua yang tertera di sana ditulis dengan bahasa asing, meski ada penjelasannya dalam bahasa Inggris di bawah tiap jenis makanan. Aku sudah berhasil menemukan cheese crêpes dan roti bawang ketika akhirnya ada juga orang yang menyapaku.

"Hai. Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.

Suaranya begitu empuk dan hangat, bagaikan cokelat meleleh. Mendadak aku tahu bagaimana rasanya bila es krim di celupkan dalam lapisan cokelat.

Aku mengadah. Tepat di depanku, berdiri cowok paling ganteng dan menawan yang pernah ku tabrak dengan kereta dorongku di supermarket lalu. Kali ini dia juga mengenakan kemeja putih dan celana hitam seperti pelayan lain, tapi dasi kupu-kupunya tidak berwarna hitam. Dasinya ungu dengan hiasan bintang-bintang kecil warna perak. Dia tidak mengenakan jam di pergelangan tangannya, tapi seutas gelang persahabatan warna hitam. Sebelah telinganya juga tidak dihiasi anting-anting emas, tapi giwang perak berbentuk kadal. Kedua matanya biru sekali sehingga membuatku teringat pada langit.musim panas yang jernih. Memandangi senyumnya sama seperti memandangi matahari.

The Boy of My Dreams (END) Where stories live. Discover now