Part 7 (Jantungku Berhenti Berdetak)

49 9 1
                                    


Zara's prov

HARI Sabtu pagi, Robby dan aku bersepeda ke gunung untuk berburu relik peninggalan orang Indian. Salsa mengunjungi bibinya di kota dan menginap di sana semalaman. Dan meskipun aku sudah berjanji akan pergi ke mal bersama ibuku, beliau tidak pernah bangun sebelum tengah hari pada hari Sabtu kecuali bila ada kerusakan ledeng mendadak yang harus ia tangani dengan segera.

"Aku merasakan sesuatu!" Robby berteriak.

"Zara! Aku merasakan sesuatu!"

Aku mendongak dari tempatku menggli. Robby terpisah dari ku kira-kira sejauh dua puluh meter, berbaring telungkup di tanah dengan lengan terbenam dalam liang tikus mondok.

"Paling-paling batu," aku balas teriak.

Seharusnya ada banyak relik di hutan ini. Robby dan aku sudah memburunya sejaj kelas enam SD, tapi terkecuali pengalaman seru bertemu King Cobra , sejauh ini kami hanya menemukan kaleng bir, cartridge kosong, dan bulu-bulu. Sudah banyak bulu yang kami kumpulkan sebagai hiasan kamar.

"Bukan!" Pekik Robby.
Nada suaranya sama bersemangatnya dengan menemukan pemain gitar Blues baru.

"Bukan batu, Zara. Aku yakin bukan." Dia menggeram.
"Terjepit di sini..."

Pelan-pelan aku berdiri.
"Kau tidak sedang menggodaku kan?" Tuntutku.

Robby gemar mengerjai orang-orang terutama aku.

Robby mengerang.
"Demi Tuhan, Zara, aku serius."

Dia menarik lengannya dan duduk.
"Sini, antu aku. Tanganmu lebih kecil, jadi mungkin kau bisa memegangnya lebih erat dari pada aku."

Aku mulai berjalan menghampirinya, tapi langkah-langkah ku lambat.
"Yakin kau tidak sedang bercanda?"

Robby melayangkan pandangan tersinggung.
"Aku berani bersumpah demi roh Willie McTell, Zara. Aku yakin kita benar-benar menemukan sesuatu."

Bila Robby berani bersumpah demi si Buta Willie McTell, salah seorang pahlawan musiknya, maka itu berarti dia tidak main-main. Aku langsung menelungkup di sebelahnya dan memasukkan tanganku ke liang.

Robby mencondongkan badan di atas bahuku.
"Kau bisa merasakannya? Kau sudah berhasil memegangnya, belum?"

"Belum."
Tanganku memang lebih kecil daripada tangan Robby, begitu juga lenganku. Aku kesulitan memasukkan tanganku lebih dalam lagi ke liang.

"Julurkan tangan mu panjang-panjang, Zara." Robby meletakkn kedua tangannya ke pundakku dan mendorongku.
"Aku yakin kau bisa."

Kujulurkan tanganku sepanjang mungkin. Jari-jariku menyentuh sesuatu yang keras.
"Aku bisa merasakannya," geramku.
"Tapi aku tidak bisa mencengkeramnya."

"Tidak. Kau pasti bisa," Robby memberi semangat.

Dia mendorongku lebih jauh lagi. Kujulurkan tanganku sepanjang-panjangnya.

"Kena!" Kataku terkesiap.
"Rasanya seperti tembikar."

Robby melepaslan pundakku.
"Hati-hati." Dia hampir-hampir berbisik.
"Bisa jadi barangnya sudah kuno sekali."

"Tenang, aku hati-hati kok," aku balas berbisik. Sepelan mungkin, ku lepaskan benda keras itu dari cengkeraman tanah.

"Keluarkan pelan-pelan," desah Robby.

Dengan sangat pelan, ku keluarkan lenganku dari dalam liang, temuan Robby tadi aman dalam genggamanku. Lalu kami berdua duduk berdampingan. Kubukan genggamannku jari demi jari.

The Boy of My Dreams (END) Where stories live. Discover now