Part 8

23 9 0
                                    

....Untung saja rumah kami terletak di atas bukit.


*****

Sekarang giliran ibuku memilih stasiun radio yang akan kami dengarkan di mobil. Dia memilih stasiun yang mendengarkan lagu - lagu rock klasik. Aku mulai menikmati perjalanan. Mula-mula terdengar lagu dari The Beatles Love Me Do, disusul kemudian dengan Hello, I Love You -nya Doors, dan terakhir, Addicted to Love -nya Robert Palmer.

"Bagaimana sih ceritanya Marilyn bisa bertemu calon suaminya?", tanyaku pada mom dengan lagak biasa-biasa saja.

"Dokter gigi langganannya menjual tempat praktiknya," cerita ibuku.

"Barry dokter gigi barunya." Lanjutnya.

Aku membayangkan Marilyn memaksa dirinya pergi ke dokter gigi untuk check-up gigi rutin setiap enam bulan sekali. Tapi bukannya cabut gigi, dia malah jatuh cinta dan bertemu jodohnya di sana.

"Yah, kalau takdir bicara...," bisikku.

"Lebih tepatnya, geraham dan taring yang bicara," sergah ibuku.

"Barry langsung tergila-gila pada Marilyn. Giginya kan bagus-bagus."

Aku mengerang.

Setelah itu, ibuku mulai bercerita tentang pernikahannya. Satu-satunya alasan dia mau menghadiri resepsi pernikahan ini adalah karena Marilyn mengundang semua orang di kelas tembikar mereka tapi tidak ada yang bisa datang. Ibuku tidak ingin menyakiti perasaan Marilyn. Tidak seperti ibuku, si Marilyn ini sangan menanti-nantikan hari pernikahannya. Sementara menurut pandangan ibuku, pernikahan cuma buang-buang waktu dan uang. Dia tidak suka mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membelu gaun yang mungkin takkan dia kenakan lagi--- dan tidak diragukan lagi bakal dia sesali seumur bidup walau hanya satu kali saja dikenakan.

Menurutnya, di resepsi-resepsi pernikahan, para tamu selalu kurang makan tapi selalu kebanyakan minum. Pada akhirnya, dia selalu ketiban sial berdansa dengan paman si pengantin wanita yang kebanyakan minum sampanye, gemar menceritakan lelucon-lelucon jorok, dan menginjak kakinya saat berdansa. Kata mom juga, di akhir pesta, selalu saja ada yang menangis di toilet wanita atau muntah-muntah di lapangan parkir. Untung saja pada pesta pernikahan Marilyn nanti, ibuku tidak akan datang sendirian. John sudah menyatakan kesediaannya mengantar Mom untuk memberinya dukungan moral.

"Sebenarnya," lanjut ibuku,

"Kurasa aku lebih suka menghadiri pemakaman dari pada resepsi pernikahan. Paling tidak, di pemakan kau sudah tahu bagaimana akhir ceritanya."

Aku memandang ibuku dengan tatapan ngeri. Terkadang, aku tidak percaya kami ini benar-benar memiliki hubungan darah.

"Bagaimana Mom bisa sesinis itu?" Tuntutku.

"Pernikahan itu romantis dan membahagiakan. Pernikahan wanita merupakan hari yang terpenting dalam hidupnya."

Aretha Franklin mulai melanjutkan lagu It Should Have Been Me.

Ibuku tertawa.

"Omonganmu mirip jargon iklan cincin pertunangan."

Terkadang, Mom juga tidak percaya kami benar-benar memiliki hubungan darah.

"Ini pernikahan Marilyn yang ketiga," ibuku memberitahuku.

The Boy of My Dreams (END) Where stories live. Discover now