"Meurutmu harus ada berapa banyak hari terpenting dalam hidup wanita?"

"Memangnya kenapa?" Debatku.

"Itu tidak membuktikan apa-apa. Itu hanya berarti dia menikah dengan pria yg tidak tepat pada dua pernikahannya yang pertama. Mungkin kali ini dia sudah menemukan Mr. Right. Bila dia akhirnya menemukan Mr. Right---"

Ibuku berhenti tertawa sejenak untuk menyahut kata-kataku.

"Menemukan siapa?" Pekiknya.

"Kau tadi bilang Mr. Right, tuan jodoh sempurna?" Ibuku menggeleng-geleng.

"Jujur saja, Rara, terkadang aku benar-benar kuatir memikirkanmu. Mungkin seharusnya dulu aku lebih ketat mengawasimu, jadi kau tidak perlu terlau banyak nonton televisi." Ujarnya.

"Tapi bagaimana dengan cinta sejati?" Tanyaku.

"Jangan bilang Mom tidak percaya cinta sejati itu ada!"

Pertanyaanku yang terakhir ini benar-benar membuat tawa Mom meledak tak tertahankan lagi.

"Cinta Sejati!"

Saking hebohnya tertawa, Mom sampai cegukan berkali-kali.

"Cinta Sejati itu lebih cocok untuk nama Kuda pacu."

"Bukan, itu tidak benar. Cinta sejatilah yang membuat dunia berputar." Debatku.

"Gaya sentripetallah yang membuat dunia ini berputar," koreksi ibuku.

"Maksudku dunia kita, bukan planet bumi."

Kadang-kadang Mom bisa menjadi orang yang sangat menjengkelkan.

"Kalau begitu Uang," tukas ibuku.

"Uanglah yang menggerakkan dunia ini, bukan cinta."

"Tidak, itu tidak benar." Bantahku ngotot.

"Cinta itu---"

"Rara, please," potong Mom, membawa vannya keluar dari pintu tol denga mesin menggerumuh.

"Aku sudah terlalu tua untuk segala macam omong kosong soal cinta sejati itu."

"Itu bukan omong kosong," protesku.

"Bagaimana dengan Romeo dan Juliet? Bagaimana dengan Roxanne dan Cyrano?"

"Dan bagaimana dengan Sid dan Nancy?" Balas ibuku.

Entah siapa itu Sid dan Nancy, aku tidak tahu. Mom lantas memberitahu. Sid dan Nancy itu pasangan punk paling terkenal di dunia. Sampai suatu hari, Nancy ditemukan sudah menjadi mayat dengan luka tusukan di sekujur tubuh, dan pisau yang digunakan untuk membunuhnya ditemukan pada Sid.

"Itu lain sama sekali."

Aku memeras otak, mencari nama pasangan kekasih yang setia satu sama lain sampai mati.

"Bagaimana dengan Heathcliff dan Cathy? Bagaimana dengan Raja Edward dan Mrs. Simpson?"

"Bagaiamana dengan Pangeran Charles dan Putri Diana" balas ibuku.

Aku mengalihkan pandanganku kembali ke luar jendela. Semestinya aku tahu percuma saja membicarakan cinta dengan ibuku. Ibuku bukan orang yang ronantis, dia orangtua tunggal.

Setelah ibuku akhirnya menemukan baju yang disukainya, kami berdua sudah sangat kecapekan dan memutuskan untuk mampir makan pizza di Eddie and Charley's, restoran pizza favorit kami, dalam perjalanan pulang nanti. Saat mobil sedang meluncur di jalan bebas hambatan, ibuku mulai menguatirkan baju yang tadi dibelinya. Mungkin seharusnya dia tidak membeli gaun kuning . Mungkin gaun itu akan membuatnya terlihat seperti orang sakit kuning. Tapi aku suka warna kuningnya. Warnanya persis sama dengan bercak-bercak di tubuh kadal Nil besar yang masih kecil. Cocok sekali dengan rambut dan mata ibuku yang gelap, sama serti kuoit badan kadal Nil yang juga hitam. Tapi ibuku tidak yakin. Mungkin seharusnya dia tadi memilih yang warnanya pink saja. Aku langsung memveto gaun pink itu. Warnanya membuatku teringat pada gulali. Lalu Mom mulai menguatirkan sepatunya. Dan setelah itu topinya. Baru kemudian dia sadar dia harus melakukan sesuatu dengan rambutnya. Gara-gara itulah gerbang tol tempat seharusnya kami keluar terlewat begitu saja.

"Aku capek sekali, tidak sanggup lagi memutar" keluh ibuku.

"Kita mampir saja di restoran pizza yang ada di pusat perbelanjaan Safeway."

Namun ternyata, restoran pizza yang ada di sana tutup untuk renovasi.

"Lupakan pizza, " ibuku memutuskan sementara van kami kembali terbatuk-batuk menyusuri jalan raya.

"Bagaimana kalau kita coba restoran baru yang di Spoo Falls sana itu? Apa namanya? Chez apa begitu... aku yakin ada yang pernah memberitahuku restoran itu juga menerima pesanan untuk dibawa pulang."

Spoon Falls itu nama kota setelah kota kami.

"Lho, kata Mom sepertinya tempat itu terlalu mewah," aku mengingatkan Mom.

Aku sendiri tidak terlalu ingin pergi sana. Meski baru melihatnya dari jalan dan belum pernah benar-benar menjejakkan kaki di sana, tapi sepertinya jenis-jenis makanan yang ada dalam daftar menunya belum pernah ku dengar atau ditulis dalam bahasa asing. Lagi pula, aku sudah ingin banget makan pizza.

"Aku lapar," sergah Mom.

"Sedikit mewah pun masa bodohlah, pokoknya asal aku bisa makan."

.......

Author :
Hai, readers! Sorry ya update part baru nya udah telat hehe, author nya akhir-akhir ini sibuk. Sibuk, hooh. Iya sibuk. Sibuk mikirin dia azzeekk. Wkwk

The Boy of My Dreams (END) Where stories live. Discover now