The Twenty First Station - "The Conversation"

Start from the beginning
                                    

Aku mengangguk. "Iya, Ma."

"Kalau Gracia datang, bilang ya, biar nanti Mama beliin sekalian makan malamnya."

Lagi-lagi aku mengangguk.

Setelah Mama pergi, aku menarik napas panjang dan memutuskan untuk berbaring. Ini benar-benar tidak menyenangkan, perasaanku benar-benar tidak enak dan rasanya aku ingin segera keluar dari rumah sakit. Aku benci keadaan ini.

"Tyara." Suara Gracia terdengar dari luar pintu. "Aku masuk ya?"

Aku mendiamkannya, tapi Gracia tetaplah Gracia yang dulu, dia masuk setelah meminta izin meskipun aku sama sekali tak membalas sahutannya.

"Aku turut berduka ya, Tyara," ucapnya dengan penuh penyesalan. "Tadi aku ketemu Ibumu pas mau kemari...."

Aku pun bangkit dari posisi tiduranku, berusaha duduk di kursi roda yang letaknya di samping ranjangku. Gracia yang melihat aksiku pun buru-buru membantuku dengan sangat bingung.

"Ih, Tyara. Istirahat dulu, kamu kan tidak tidur kemarin..."

Aku memperlihatkan punggung tanganku yang kini terbebas dari jarum. "Cepat, sebelum tiang infus itu mengganggu lagi."

"Eh, tapi kan-"

"Iya, cuman dilepas sementara karena aku pergi tadi pagi," potongku.

Gracia mengelus tengkuknya ragu, "Err, oke deh. Tapi kita mau kemana?"

Aku mengendikkan bahuku, membuat Gracia menghela napas lelah, namun dia tetap mendorong kursi rodaku keluar dari kamarku.

"...Kamu tidak apa-apa?" tanya Gracia hati-hati.

Aku berbalik menoleh ke arahnya, "Aku tidak tahu, Cia...Aku merasa bersalah tanpa sebab yang pasti, aku merasa ada sesuatu yang salah."

"Ini pertama kalinya kamu tidak menjawab dengan kata 'gapapa'."

Debaran itu datang kembali, jantungku benar-benar terasa begitu terpukul keras dan rasa sakitnya mengalir disetiap rongga yang bisa dilewatinya. Kepalaku terasa berat dan mataku kembali merasakan rasa sakit itu. Sakit yang tak jauh berbeda saat pertama kali aku terbangun beberapa hari silam.

"...Cia, aku pusing,"

"Tuh kan! Seharusnya kita tidak keluar," omel Gracia sambil memutar balik kursi roda itu kembali ke arah kamar inapku.

"Enggak, Cia..." Aku menggeleng cepat, "aku nggak mau kembali ke kamar, ini cuman migrain biasa, mungkin."

"Tyara, jangan bikin orang khawatir, ah," ucapnya kesal. "Kamu masih pusing?"

Aku menganggukan kepalaku, aku tidak tahu setelah melakukan itu, justru pandanganku terlihat berkunang-kunang.

"Ra? Tyara?!"

"Hm?" aku berusaha menjawab Gracia yang terdengar tegang dan panik entah karena apa, kepalaku yang berkunang-kunang membuat semua cahaya yang ada terlihat hitam-ungu-hijau gelap kembali terang, begitu terus berulang-ulang.

Gracia terdiam kali ini, itu membuatku benar-benar bingung dengan tingkahnya.

"Cia?"

"Anda Nona Tyara?"

Aku menolehkan kepalaku ke arah Gracia saat mendengarkan suara lelaki, penglihatanku yang berkunang-kunang itu masih menutupi pandanganku, meski kali ini wajah Gracia samar-samar terlihat jelas. Gracia menatapku dengan horror, yang membuatku bertanya-tanya semengerikan apa wajahku saat ini.

"Ku-kurasa kamu harus jawab 'iya', Ra," balas Gracia gugup.

Aku mengerutkan keningku bingung, namun akhirnya berbalik kembali ke depan untuk mengangguk. Saat itu pula pandanganku kembali terang dan aku melihat seorang pria sedang mendorong kursi roda yang di duduki oleh...

LFS 1 - Air Train [END]Where stories live. Discover now