FESTIVAL TOPENG MUSIM PANAS

Start from the beginning
                                    

Kwon terhuyung kesamping dengan posisi tangan Dalyan masih melingkar di bahunya. "Minggir!". Tiba-tiba seseorang bertopeng kasim mendorong Dalyan dan menangkap tubuh Kwon yang bersimbah darah itu. "Siapa kau?!", teriak Dalyan. Orang yang menggunakan topeng kuning itu menunjukkan mukanya. Ternyata itu adalah Kaisar. Ia menyamar untuk membuntuti Kwon. "Yang Mulia...". "Pergilah!". Dalyan terdiam di tempatnya berdiri. "Pergi sebelum kau dicurigai! Pergi! Aku akan mengampunimu. Tak perlu cemaskan dia". Dengan berat hati dan melihat kekasihnya bersimbah darah, Dalyan pergi meninggalkan tempat itu. Tan membawa Kwon ke ruangannya. Ia juga memanggil tabib pribadinya secara diam-diam untuk menolong Kwon.

Festival topeng pun selesai. Kasim Jang yang  juga telah selesai menggantikan Kaisar segera masuk ke ruangan tuannya untuk melapor bahwa penyamarannya berhasil dan tidak ada orang yang tahu. Namun betapa kagetnya ia ketika melihat tabib dan pembantunya berjejer di luar ruangan Kaisar. "Yang Mulia! Apa anda baik-baik saja?", tanya Kasim Jang khawatir begitu memasuki ruangan tuannya itu. "Aku baik-baik saja. Tapi dia terpanah", ucap Sang Kaisar menatap tempat tidurnya yang ditempati Kwon. "Astaga! Astaga! Kwon! Dayang Kwon! Siapa yang tega melakukan ini? Huhuhu". "Bagaimana keadaanya?", tanya Tan pada tabib yang merawat Kwon. "Untungnya panah itu tidak mengenai jantungnya Yang Mulia. Panah itu meleset dan sedikit mengenai tulang selangka yang ada di dadanya. Anak panahnya sudah hamba keluarkan. Tinggal menunggu Dayang Kwon sadar dan hamba akan racikkan ramuan untuknya", ucap tabib. "Terima kasih, aku tidak akan melupakan jasamu...".

Pembantu tabib membebatkan perban di dada Kwon. Itu membuat separuh pakaian bagian atasnya harus dilepas dan dibiarkan terbuka. Tan merapatkan dirinya ke tubuh Kwon. Ia memandangi mata yang terkatup itu. Ia memandangi bibir yang tertutup itu, wajah yang kurus tirus itu. Belum kering luka yang ada di punggungnya, sekarang harus ditambah lagi dengan luka yang ada di dadanya.

Ia hanya kembarannya
Tapi entah kenapa hatiku terasa sakit melihat ia seperti ini?
Jika Chana yang terpanah, apakah aku akan melakukan seperti ini juga?

Pergolakan hati Tan menggeliat dalam pikirannya. Ia bingng dengan perasaannya sendiri. Ia merindukan Chana, tapi yang ada di sampingnya Kwon. Sementara Kwon memiliki wajah yang sama persis dengan Chana. Ia merasa berdosa menduaka Chana. Tapi bagaimana ia bisa tahan dengan lamanya Chana yang menghilang dan kebutuhan batiniahnya.

Nafas Kwon tak beraturan. Keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. Nampaknya Kwon sedang mimpi buruk, dan tangannya mulai bergetar. Tan berinisiatif menenangkannya dengan menyentuh dahi dan tangan Kwon. Dari sorot matanya, jelas sekali Tan seolah berbicara "Tenanglah, aku disini". Sejenak Kwon kembali tenang dan nafasnya teratur lagi. Malam itu Tan memutuskan untuk mendampingi Kwon disampingnya. Ia khawatir kejadian yang sama menimpa Kwon lagi. Ia tak sanggup melihat Kwon harus terluka lagi. Cukup ia melihat Chana yang hancur. Jika ia melihat Kwon terluka, itu sama saja melihat Chana terluka untuk kedua kalinya. Tan mendekap tubuh Kwon dan membelai wajahnya. Wajah kesakitan itu, ingin ia dekap dan tak ingin ia lepas.

Tan mengecup dahi Kwon pelan. Semuanya seperti mimpi. Menemukan orang yang sama dengan jalan hidup yang berbeda. Entah sejak kapan rasa itu ada di hati Tan, tapi ia ikut hancur ketika Kwon terluka. Karna terbawa suasana, Tan mengecup bibir Kwon untuk menyalurkan hasratnya, termasuk keinginan sesuatu yang telah menegang dibawah sana. Hasratnya untuk menyentuh dan disentuh. Kerinduannya untuk mencumbu dan dicumbu. Keinginannya untuk menyalurkan perasaannya. Tan menggesekkan ujung hidungnya di leher Kwon. Gairah itu, sulit baginya untuk ditahan. Tapi ia tahu bahwa itu harus segera diakhiri sebelum terjadi lebih jauh. Logikanya masih belum sepenuhnya tertutup oleh nafsu. Syukurlah. Untuk itulah Tan menjauh dan meninggalkan Kwon sendiri.

Chana terkulai lemas di teras rumahnya. Teringat kembali kejadian tadi di ibu kota, ketika Chana memberikan pesanan penyalinan buku. Ia rasa pemesan buku itu cukup misterius. Dirinya diminta datang di festival topeng yang mulai kepemimpinan yang baru ini akan dilakukan secara rutin untuk menyambut datangnya musim panas. Mau tidak mau Chana harus mengenakan topeng agar bisa mendapat akses masuk ke istana dan menemui pemesan itu. Dan satu lagi, pemesan itu akan memanggil Chana dengan sebutan Si Penulis, bukan nama pena Chana. Chana yang sudah lama tidak mengunjungi istana, tentu saja ingin bernostalgia lebih dulu sebelum memberikan pesanan itu dan tidak akan bisa masuk istana dengan mudah setelahnya. Yah sedikit memanfaatkan kesempatan yang ada bukan hal yang salah baginya. Ia berkunjung ke istana Selir Agung, tempat dirinya lahir dan dibesarkan. Tempat itu kini menjadi gudang tua yang tak terurus, kotor, dan berdebu. Miris hatinya melihat itu. Ia tak bisa apa-apa selain tertunduk lesu dan memendam kesedihannya. Tapi pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang menarik busur panahnya di atap bangunan kuno itu. Matanya membalak besar, namun terlambat, anak panah itu sudah melesat cepat entah siapa yang ia bidik. Chana berusaha mengejar anak panah itu. Ia mencari dimana anak panah itu berakhir.

Empress KwonWhere stories live. Discover now