"tidak bisakah kau diam? Bukankah kita akan pergi ke Kantor?" Veranda membuka pintu mobil dan mendorong lembut tubuh Naomi agar masuk kedalam mobil, setelah itu ia berjalan memutar untuk duduk dijok kemudi.

Naomi membuang pandangannya keluar Jendela, tidak ingin menatap wajah Veranda yang saat ini sedang sibuk mengemudi. Bagus sekali, ia bahkan belum menyetujui tapi Veranda sudah membawanya. Entah akan pergi kemana, ia tidak ingin mengetahuinya

Sekilas Veranda melirik kearah Naomi yang masih diam. Ia hanya mengangkat bahu tidak peduli melihat ekspresi kesal yang ditunjukan Naomi, yang terpenting saat ini adalah kasus itu bisa segera terpecahkan. Ia tidak bisa menunggu untuk waktu yang lebih lama lagi

Laju mobil yang dikemudikan Veranda tiba-tiba saja berubah cepat. Naomi langsung memiringkan wajah menatap Veranda

"bukankah kita akan pergi ke Kantor kakakmu? Kenapa kau menjalankan mobil ini seolah kita akan pergi ke Surga?" pekik Naomi kesal

"jika kau mau, aku akan membuangmu ketengah laut. Dengan begitu kau akan lebih cepat masuk surga" balas Veranda singkat tanpa memperdulikan kekesalan Naomi yang ia yakin akan semakin bertambah

Dengan keras Naomi memukul bahu Veranda, "aku seorang polisi!"

"lantas? Apa aku harus memberi hormat?"

Naomi mendelik tajam lalu kembali membuang pandangannya keluar jendela. Melihat wajah Veranda, itu sama saja menambah rasa kesalnya

Tanpa sadar Veranda tersenyum memandangi wajah kesal Naomi. Tangannya terjulur menggenggam tangan Naomi, "maafkan aku, aku hanya bergurau"

Naomi menoleh dan bertemu pandang dengan mata Veranda, untuk sepersekian detik ia lupa bagaimana caranya bernafas melihat senyuman Veranda yang baru pertama kali ia lihat. Detik berikutnya ia menyadari, sepasang mata itu mampu membuat jantungnya berdebar. Segera ia melepaskan genggaman Veranda dan langsung membuang pandangannya

Veranda memusatkan kembali perhatiannya pada jalan raya, ia mengembuskan napas berat sambil bersandar lemah dijok

"tadi adikku Aron, menangis karena merindukan kak Rendy dan Papa Mama"

Untuk ketiga kalinya, Naomi memutuskan kembali menatap wajah Veranda yang sudah menyiratkan banyak kesedihan, sama seperti saat ia pertama bertemu gadis itu, padahal barusan ia bisa melihat sisi lain yang ditunjukan Veranda, kenapa bisa berubah secepat ini? Apa penderitaan bisa mengubah sikap seseorang?

"aku juga merasakan hal yang sama, aku merindukan mereka" lanjut Veranda. Entah kenapa ia mau menceritakan semua isi hatinya kepada Naomi, orang yang sebenarnya masih sangat asing. Yang ia ingin, Naomi mengerti tentang dirinya

Naomi mengangguk paham dan memandang lurus kedepan, "melupakan adalah kebebasan, jika tidak itu akan membelenggu hatimu. Itu alasan kenapa orang yang sulit melupakan akan merasa terikat pada sesuatu, yaitu masa lalunya"

"aku merindukan keluargaku, apa itu salah?"

"itu bukan kesalahan, nona. Tapi kau selalu menyisipkan kesedihan saat kau mengingat masa lalu itu, saat kau mengingat tentang keluarga, hanya penderitaan yang kau pikirkan. Itu tentu sebuah kesalahan karena kau hanya menyakiti dirimu sendiri dengan terus menerus mengingat tentang penderitaan yang kau rasakan"

Veranda diam. Membiarkan rasa sakitnya berdenyut sekali lagi. Naomi benar tapi entah kenapa ia sangat sulit melupakan penderitaan itu, ia seakan ditakdirkan hidup terbelenggu dengan semua penderitaan ini. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan jika penderitaan itu malah semakin erat merengkuh hidupnya?

"penderitaan mengajarkan kita sesuatu, semakin menderita, kita akan semakin kuat" ucap Naomi masih memandang lurus kedepan

Alis Veranda terangkat sebelah, "sudut pandang macam apa itu?" tanya Veranda yang langsung mendapat tatapan tajam dari Naomi. Ia menelan ludahnya dengan susah payah lalu buru-buru memperbaiki kalimatnya, "maksudku, kenapa bisa begitu? Bukankah penderitaan melemahkan kita?"

Waktu (END)Where stories live. Discover now