IPA & IPS - 13

329K 14.6K 306
                                    


Hari ini Michelle terus-menerus teringat kejadian di restoran kemarin. Dia merasa tidak enak pada Rifqi, namun dia juga bingung apakah Rifqi benar-benar menganggapnya sebagai pacar.

Bel pertanda istirahat berbunyi. Michelle keluar kelas. Dari depan kelasnya, dia bisa melihat koridor kelas IPS yang terletak satu lantai di atas kelasnya. Michelle duduk di pelataran koridor, mengurungkan niat untuk pergi kekantin. Dia malas mendengar gosip atau omongan para murid di sana. Dia butuh waktu sendiri untuk sementara.

“Hai,” sapa Aldino yang tiba-tiba berada di sampingnya. Kadang Michelle merasa risih setiap kali cowok itu muncul. Bukannya Michelle tidak mau Aldino selalu berada di sampingnya, hanya saja kadang manusia butuh waktu untuk menyendiri dan Aldino seakan tak peka akan hal itu. “Kenapa?” tanya Aldino melihat Michelle yang seakan mengacuhkannya.

“Gak apa-apa,” ucap Michelle, lalu kembali lagi menatap koridor kelas IPS.

Aldino mengikuti arah pandang gadis di sebelahnya itu. Perasaannya mendadak tak enak. Michelle seperti sedang mengharapkan Rifqi, namun yang sekarang berada di sisi cewek itu malah dia.

“Temuin gue di belakang sekolah pas pulang sekolah,” perintah Aldino sebelum meninggalkan Michelle.
Setelah kepergian Rifqi, Michelle pun memutuskan untuk pergi ke kantin. Sampai di sana, kantin sudah sangat ramai seperti biasanya. Michelle mengedarkan pandangannya, tanpa sadar mencari Rifqi, namun tak menemukan cowok itu di sana. Setelah membeli minuman, Michelle menghampiri Shifa yang sedang membeli mi ayam.

“Shif,” panggil Michelle.

“Sebentar, Chelle,” ucap Shifa seraya menerima mangkuk berisi mi ayam dari pelayan kantin.

“Kenapa, Chelle? Tumben nyamperin gue,” tanya Shifa. Kedua cewek itu berjalan menuju meja kosong tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Kok gue gak liat Rifqi hari ini?” tanya Michelle seraya meletakkan minumannya di atas meja.

Shifa mengerutkan dahinya, “Lo gak tau? Pacar sendiri kok gak tau.”

Shifa geleng-geleng tak percaya seraya meletakkan mangkuk di atas meja dan duduk di hapan Michelle. “Emm... gue sebenernya bukan pacarnya,” ucap Michelle. Shifa melotot. “Hah?! Lo ga becanda kan, Chelle?”

“Serius, gue tuh cuma dihukum sama dia buat jadi pacarnya dan dia juga gak nganggep gue kayak gitu. Jadi ya udah, kita gak pacaran sebenernya,” ujar Michelle.

“Ohh lu pacarnya Aldino berarti?” tanya Shifa lagi.

Michelle menggeleng buru-buru, “Bukan, Shif.”

“Lah terus lo sama Aldino ngapain kemaren di restoran?” tanya Shifa. Michelle kaget. Darimana dia tahu?

“Aldino yang maksa gue biar ikut,” jawab Michelle. “Jadi Rifqi kenapa?”

“Rifqi tuh kemarin berantem gitu sama geng motornya, katanya sih ada yang nyerang si Rifqi gitu,” ucap Shifa.

“Terus dimana dia sekarang?” tanya Michelle. Ada sirat khawatir dalam nada bicaranya.

“Di rumah sakit deket sini, lo mending jenguk dia deh. Dia butuh lo, Chelle.”

Michelle mengangguk. “Em... yaudah deh ntar gue jenguk dia abis pulang sekolah.”

“Sip.”

***

Michelle langsung melangkahkan kakinya ke belakang sekolah usai bel pulang sekolah berdering. Cowok itu sudah sampai lebih dulu daripada dirinya. Aldino menoleh menyadari kehadirannya, lalu menghampiri Michelle seraya melemparkan tatapan yang sulit Michelle tebak maknanya. “Chelle,” ucap Aldino lembut. “Siapa sih yang ada di hati lo?”

Michelle tersentak dengan pertanyaan mendadak itu. Dadanya mendadak sesak.

“Gue butuh kepastian dari lo,” kata Aldino lagi.

“Maaf, Al.” Michelle tertunduk, ragu-ragu melanjutkan ucapannya. “Gue gak pernah sama sekali ada perasaan buat lo. Gue udah nganggep lo sebagai sahabat gak lebih.”

“Please lah, Chell. Gue janji gak bakal ngecewain lo,” kata Aldino. Michelle bisa melihat kesungguhan di mata cowok itu.

“Al, lo gak ngerti. Kalau lo maksa gue biar terima lo, itu sama aja kaya gue ngebohongin sahabat gue sendiri.”

“Udah dua kali gue nembak lo dan udah dua kali juga lo tolak gue,” ucap Aldino dengan tersenyum sedih.

“Al, gue harap lo bisa buka hati lo buat orang yang baru.” Michelle mengusahakan sebuah senyum tulus sebelum ia berbalik dan pergi dari sana, meninggalkan Aldino yangn mematung di tempatnya.

Michelle tidak menerima Aldino karena dia memang tidak ada perasaan apa pun kepada Aldino. Dia hanya ingin bersahabat dengan Aldino, tidak lebih. Michelle berharap Aldino bisa membuka hatinya untuk orang lain di masa depan, kepada orang yang juga mencintainya.

***

Michelle masuk ke dalam rumah sakit tempat Rifqi di rawat dengan menenteng sekantong plastik buah yang tadi ia beli di mini market tak jauh dari sana.

“Suster, kamarnya Rifqi Attila Pratama nomor berapa?” tanya Michelle setelah tiba di depan meja Resepsionis

“Sebentar,” kata suster di seberangnya sebelum mengecek di komputernya.

“Oh, kamarnya Rifqi di nomor 509. Lantai lima ya.” ucap suster tersebut.

“Makasih suster.”

Michelle langsung pergi ke lantai 5 menggunakan lift. Sampai di lantai 5, Michelle celingukan mencari kamar Rifqi, hingga akhirnya menemukan kamar itu di ujung lorong. Ada sedikit celah di pintunya yang memungkinkan Michelle untuk bisa mengintip ke dalam ruangan. Jantungnya berhenti berdetak. Michelle tersentak, kaget dengan apa yang baru saja ia lihat. Michelle melihat Rifqi yang sedang memeluk Rifa. Michelle melangkah mundur. Harusnya, ia tidak mengikuti saran Shifa. Seharusnya dia tidak menjenguk Rifqi. Seharusnya dia tidak merasa khawatir. Seharusnya dia biasa saja melihat Rifa memeluk Rifqi.

Michelle meletakkan kantong plastik yang berisi buahbuahannya di depan kamar pintunya Rifqi, lalu segera pergi dari sana.

***

Luka-luka di tubuh Rifqi masih belum sembuh. Semalam ada seseorang yang menyerangnya. Rifqi tidak tahu siapa itu karena tidak sempat melihat siapa pelakunya. Rifqi hanya ingat bahwa Nadhif meneleponnya semalam. Setelah itu, Rifqi tak ingat apa-apa lagi.

Rifqi mencoba untuk duduk dari posisi berbaringnya. Kepalanya terasa sakit, sepertinya semalam kepalanya terbentur oleh sesuatu. Banyak sekali luka-luka yang sudah diperban.

Pintu kamar Rifqi tiba-tiba terbuka, Rifa muncul dari balik pintu dan berjalan menghampirinya. Hidung dan mata cewek itu memerah, dari situ Rifqi tahu bahwa Rifa habis menangis. Rifqi terdiam, tahu jika gadis di depannya itu akan mengatakan sesuatu sebelum Rifqi bertanya.

“Rif, gue kira lo gak bakal bangun,” ucap Rifa, suaranya bergetar.

“Tenang, Rifa. Gue kuat kok,” ucap Rifqi sambil tersenyum, berusaha untuk mengurangi rasa khawatir yang nampak jelas di wajah Rifa.

“Tapi semalem keadaan lo kritis, Rif. Gue takut kehilangan lo.” Rifa meneteskan air matanya. Rifqi pun menarik Rifa ke dalam pelukannya.

“Gue di sini, Rifa. Gue gak bakal ninggalin lo,” bisik Rifqi sambil mengelus puncak kepala Rifa.
“Rif, kalau lo pergi, gue gak bakal bisa bahagia lagi. Gue gak mau kehilangan sahabat kaya lo,” ucap Rifa di sela isak tangisnya.

“Rifa, gue di sini,” ucap Rifqi yang terus berusaha menenangkan Rifa.
Rifqi menyadari ada seseorang yang berada di depan pintunya. Ketika Rifqi melepas pelukannya, orang tersebut langsung pergi. Rifqi mencoba untuk turun dari ranjangnya, namun dicegah oleh Rifa.

“Rif, mau ke mana? Lo kan belom sembuh,” ucap Rifa sambil mengusap air mata yang tersisa di pipinya.

“Tadi gue liat ada orang deh.”

“Bentar gue yang cek.”

Rifa membuka pintu tersebut lebih lebar, dia tidak melihat siapa-siapa, namun ada kantung plastik berisi buah-buahan di depan pintu. Rifa mengambil kantung tersebut, lalu memberikannya kepada Rifqi.

“Dari siapa?” tanya Rifqi penasaran.

“Gak tahu, tadi ada yang mau masuk kali cuma gak enak,” tebak Rifa asal. Rifqi menaruh kantung plastik tersebut di meja yang terletak di sebelah ranjangnya.

“Eh gue potongin deh buahnya, biar lo sehat, biar yang ngasihnya juga seneng,” ucap Rifa.

Rifqi mengangguk, tidak bisa menolak. Rifa sudah terlalu baik padanya. Sahabatnya lebih peduli kepadanya dibandingkan orang yang dia sayang, Michelle. Rifqi berharap Michelle akan datang menjenguknya, namun itu hanyalah sebuah harapan. Nyatanya, Michelle tidak datang.

***

Michelle berjalan keluar dari rumah sakit. Matanya sudah terasa panas. Dan benar saja, tak lama, beberapa air mata lolos dan jatuh membasahi pipinya. Michelle baru saja merasakan rasanya cemburu, namun buat apa dia cemburu, dia bukan siapa-siapanya Rifqi. Gue nggak berhak cemburu, batinnya.

“Chelle?” Panggil sebuah suara dengan nada kaget. Tanpa menoleh, Michelle tahu itu adalah Aldino. Cowok itu kini berdiri di hadapannya. Michelle mendongak, menatap sekilas lalu menunduk lagi.

“Lo ngapain di sini?” tanya Aldino.
Michelle tidak menjawab. Air matanya berhenti mengalir.

“Lo, jenguk Rifqi?” tebak Aldino. Michelle masih terdiam.

“Pantesan lo gak bisa nerima gue, masih ada yang ngisi hati lo ternyata,” ucap Aldino.

Michelle yang merasa tersindir oleh omongan Aldino lantas pergi meninggalkan Aldino yang masih terdiam di tempat. Michelle malas berbicara dengan Aldino. Michelle ingin segera pulang ke rumah dan melupakan kejadian hari ini.

***

Setelah beberapa Minggu menjalani perawatan, Rifqi sudah bisa bersekolah hari ini. Lukanya masih membekas sedikit. Sebelum menuju kelasnya, Rifqi pergi ke kelas Bahasa untuk menemui Nadhif.

“Nadhif mana?” tanya Rifqi kepada salah satu anak di kelas itu.

“Eh bentar, Rif. Nadhif! Di cariin Rifqi,” teriak cowok itu ke dalam kelas. Tak lama kemudian, Nadhif keluar kelas dan menghampirinya.

“Udah sehat lo, Rif?” tanya Nadhif.

“Lo nelepon gue waktu itu?” tanya Rifqi tanpa menjawab pertanyaan Nadhif.

“Hah? Nggak,” jawab Nadhif kaget.

“Ck, kerjaan siapa ini.” Rifqi berdecak sebal.

“Yang nelepon lo waktu itu pake nomor gue?” tanya Nadhif.

“Iya.”

“Ini kayaknya ada yang nukerin kartunya. Soalnya nomor hape gue jadi berubah,” ucap Nadhif.

“Oh yaudah. Thanks, Dhif. Gue mau cari tahu lebih lanjut,” ucap Rifqi sebelum pergi meninggalkan Nadhif menuju kelasnya.

***

Sepulang sekolah, Rifqi melajukan motor menuju markas geng mototnya guna mencari petunjuk lebih lanjut tentang pelaku memukulan malam itu. Kejadiannya di markas, Rifqi ingat betul orang yang mengaku-ngaku Nadhif itu menyuruhnya mendatangi markas.

Rifqi menghampiri bapak-bapak yang berada di sekitar markasnya.

“Pak, beberapa Minggu kemaren liat orang yang berantem malem-malem nggak?” tanya Rifqi.

“Oh yang diserang itu bukan?” tanya bapak-bapak itu untuk memastikan.
Rifqi mengangguk,

“Iya, Pak.”

“Liat, kan bapak yang bubarin. Awalnya bapak mau nangkep, cuma keburu pergi jauh. Abis itu temennya dateng bawa dia ke rumah sakit,” ucap Bapak tersebut.

“Orangnya kaya gimana, Pak?” tanya Rifqi lagi.

Bapak di depannya terlihat berpikir, “Orangnya pake jaket kulit warna item, tapi jaketnya bolong sedikit di bagian punggungnya, pake topi warna hitam tapi jambulnya masih keliatan, pake masker item juga nutupin mulutnya.”

“Berapa orang yang nyerang?” tanya Rifqi.

“Tiga orang, tapi yang duanya lagi kayak bukan anak sekolahan, badannya besar terus berotot.”

“Makasih, Pak.”

***

Pagi-pagi Michelle sudah menemukan motor Aldino terparkir di depan rumahnya. Michelle kira setelah Michelle menolaknya, dia tidak akan mengejar Michelle lagi, ternyata perkiraan Michelle salah. Ketika Michelle sudah siap, Michelle keluar dari rumah dan Aldino pun menoleh dengan senyuman yang tidak Michelle balas.

“Pagi,” sambut Aldino hangat, namun Michelle tidak menyambut kembali. Hangatnya Aldino tidak bisa menghangatkan hati Michelle yang sedang bergemuruh layu pagi ini.

“Ngapain ke sini?” tanya Michelle sok polos.

“Jemput kamu lah,” jawabnya Aldino.

“Gue bisa naik angkot.” Michelle menolak ajakan Aldino. Namun Aldino keburu menarik lengan Michelle, membuat Michelle tidak bisa menolak. Akhirnya, Dia duduk di belakang Aldino tanpa berpegangan.

“Pegangan dong, ntar kalau kamu jatoh aku dimarahin nyokap kamu,” perintah Aldino. Mau tak mau, Michelle berpegangan di pundaknya.

***
“Gimana Michelle?” tanya Davin yang tiba-tiba menghampiri ketika Rifqi baru saja keluar dari dalam mobilnya.

“Gimana apanya?” tanya Rifqi.

“Kalian beneran putus?”

“Gue gak pernah mutusin dia dan gue juga gak pernah denger Michelle minta putus, entahlah siapa yang nyebarin rumornya.”

“Terus bakal lo perjuangin lagi?” tanya Davin lagi.

“Gue mau selesaiin masalah-masalah yang ada dulu baru berjuang lagi ke dia, biar pacarannya enak,” jawab Rifqi.

“Emang dianya mau sama elu? Kalo ditolak gimana?”

“Sebisa mungkin gue berjuang biar dia mau sama gue,” jawab Rifqi dengan rasa percaya diri.

“Gimana Shifa?” sekarang giliran Rifqi yang bertanya.

“Gimana apanya?”

“Lo gak balikan gitu sama dia?” tanya Rifqi kepada Davin.

“Dih, gue udah gak ada perasaan sama sekali sama dia,” ucap Davin dengan nada sebal.

“Ah masa sih?”

“Rif, balikan sama mantan itu ibarat lu baca lagi buku yang sama dan lu udah tau endingnya,” ucap Davin.

“Kalo gak sama gimana? Kenapa lu gak mulai lagi dari awal dengan lembaran yang baru?” tanya Rifqi.

***

“Shifa, gue suka sama lo.”

Davin mengungkapkan perasaannya ketika mereka berdua tengah berada di UKS. Shifa yang baru saja sadar dari pingsannya menatap cowok itu dengan wajah bingung.

“Hah?”

“Kok hah? Gue suka sama lo,” ucap Davin lagi. “Lo mau gak jadi pacar gue?”

“Mau,” senyum Shifa mengembang. Shifa sudah memendam perasaannya sejak lama dan akhirnya cintanya terbalas.

“Maaf gue gak seromantis cowok-cowok yang lain,” ucap Davin. Davin orangnya memang tidak suka berbasabasi. Menurut dia, spontan lebih baik.

“Gak apa-apa, Vin. Gue cinta sama lo apa adanya kok.” Shifa tersenyum manis, Davin membalas senyuman Shifa.

***

Masa lalunya bersama Shifa melintas di pikirannya. Davin tersenyum tipis mengingat kejadian tersebut. Dulu, Shifa dan Davin yang saling mengenal dan mencintai. Kini, menjadi Shifa dan Davin yang saling melupakan dan membenci. Dulu, dia bisa berdampingan dengan Shifa. Kini, ada jarak yang sangat jauh di antara mereka.

“Mikirin apa lo?” Rifqi membuyarkan lamunannya. Davin melirik ke arah cowok itu, namun tidak menjawab apa pun.

Tak lama kemudian, sebuah motor ninja memauki parkiran sekolah. Mata Rifqi langsung tertuju pada gadis yang duduk manis di kursi belakang motor itu. Gadis yang dia cintai, Michelle. Gadis itu langsung pergi menuju kelasnya meninggalkan Aldino yang baru saja selesai melepaskan helm.

Mata Rifqi tertuju pada jaket kulit yang dipakai oleh Aldino. Terasa familiar diingatannya. Apakah dia pelakunya?
Pertanyaan itu tiba-tiba berada di pikirannya.

*

IPA & IPS (TERBIT & SUDAH DISERIESKAN)Where stories live. Discover now