IPA & IPS - 12

320K 15K 546
                                    


Nilai anak kelas IPS naik sangat drastis, setara dengan nilai anak kelas IPA. Rifqi merasa sangat senang. Bukan karena anak IPA terjatuh, tapi karena sebentar lagi mereka bukanlah anak emas.

Rifqi berniat untuk mengajak Aldino berdamai, namun niatan itu ia urungkan karena gensi yang tinggi. Sebagai cowok, dia berpikiran jika dia meminta maaf duluan, harga dirinya akan turun. Hubungannya dengan Farrel pun sampai saat ini belum juga membaik.

Rifqi malas sekali pulang ke rumah, masih betah berdiam diri di ruang OSIS, membiarkan pikirannya melayang-layang ke mana-mana. Lebih baik di tempat ini daripada harus berdebat dengan ayahnya di rumah.

Baginya, OSIS membuat hidupnya menjadi lebih menyenangkan. Selama hampir satu tahun Rifqi menjadi Ketua Osis, ia tak pernah sekali pun merasa lelah dengan kegiatannya. Dia sangat senang bisa menghabiskan banyak waktunya di sekolah. Bahkan, Rifqi pernah berpikiran untuk sekolah di pesantren agar bisa menikmati waktu sekolah sepanjang hari.

Rifqi memalingkan wajahnya ketika melihat Farrel masuk ke dalam ruang OSIS. Dia membuka laptopnya, pura-pura mengerjakan sesuatu di sana. Rifqi kini jarang sekali berkomunikasi dengan Sekretaris OSISnya itu, bahkan untuk sekadar saling menyapa.

“Rif,” panggil Farrel tiba-tiba. Rifqi pun menoleh dengan wajah datarnya.

“Akhirnya lo putusin juga. Gue tau kok waktu itu lo khilaf. Gue tau lo bakal milih sahabat sendiri daripada cewek IPA,” ucap Farrel dengan senyum lebarnya. Rifqi mengernyit. Putus? Dia tidak memutuskan Michelle. Dia tidak akan melepaskan Michelle.

“Lo ngapain di sini?” tanya Farrel membuyarkan pikirannya.

“Emm... gue males pulang, masih pengen di sekolah,” jawab Rifqi jujur.

“Oh, gue duluan atuh yah,” pamit Farrel.

Rifqi menganggukkan kepalanya. Setelah kepergian Farrel, Rifqi membaringkan kepalanya di atas meja, perlahan-lahan larut dalam alam mimpi. Baru bangun pukul lima sore ketika mendenger dering handphone-nya yang meraung-raung, telepon dari ayahnya.

Rifqi memutuskan untuk pulang. Mau gak mau dia harus kembali ke rumahnya karena gerbang sekolah akan ditutup sebentar lagi.

Mobil sedannya melaju sangat kencang membelah jalanan kota Bandung sore ini. Langit lumayan cerah, membuat Rifqi lumayan menikmati perjalanan pulangnya. Sebelum menuju rumah, Rifqi berencana untuk pergi ke rumah Michelle. Jaraknya lumayan jauh, namun keinginannya membuat dia semangat agar cepat sampai di tempat tujuan.

Dari kejauhan, Rifqi melihat Michelle yang baru saja keluar dari rumahnya menggunakan gaun hitam selutut dan pundaknya ditutupi oleh jaket bomber berwarna marun. Terlihat berbeda sekali dari biasanya. Gadis itu sangat anggun. Dia dijemput oleh mobil sedan. Dari plat nomor mobilnya saja Rifqi sudah tahu jika itu adalah Aldino. Pria tersebut keluar dari mobil, lalu mengenggam tangan Michelle erat. Aldino pun membukakan pintu untuk Michelle dan mobil itu pun pergi tak lama setelahnya.

Dari belakang, Rifqi berencana untuk mengikuti mereka. Rifqi punya perasaan bahwa mungkin mereka akan curiga karena kehadirannya. Rifqi harus menyesuaikan kecepatan mobilnya dengan kecepatan mobil Aldino agar tidak tertinggal. Tak lama, mereka sampai di sebuah restoran mewah. Dua orang itu turun dari mobil. Aldino merangkul Michelle yang lebih pendek darinya.
Rifqi merasa cemburu ketika Michelle terlihat sangat bahagia dengan Aldino, sementara Rifqi tidak bisa membuat gadis itu tertawa selepas itu. Rifqi pun memutuskan ikut turun dari mobilnya, mengikuti dua orang itu dari jauh. Aldino dan Michelle duduk di pinggirjendela kaca besar, sementara Rifqi duduk di pojok ruangan, namun masih bisa melihat gerak gerik mereka.

Rifqi jenuh dan panas melihat mereka yang begitu mesra. Dia memperhatikannya sambil menikmati secangkir kopi. Rifqi ingin sekali menarik Michelle dari Aldino, namun hal tersebut malah terlihat seperti Rifqi merengut kebahagiaan Michelle.

“Rifqi kok lo di sini?” tanya seseorang. Rifqi menoleh ke sumber suara,menemukan Rifa berdiri di sebelahnya.

“Stt!” Rifqi meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Cowok itu lalu menarik Rifa agar duduk bersamanya.

“Apaan sih?” tanya Rifa, namun Rifqi tidak menjawab. Dia tidak mau Rifa melihat cowok yang ditaksirnya makan malam dengan cewek lain, apalagi orang itu adalah Michelle, temannya.

“Eh lu gak malu apa ke sini masih pake seragam?” tanya Rifa. Cewek itu memperhatikan Rifqi dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Suara dikontrol dikit napa, Rif!” Rifqi berdecak dalam bisikkan.

“Ck, ga asik lu. Yaudah gue cabut duluan ya! Gue udah janjian sama te—” Ucapan Rifa tertelan begitu saja ketika dirinya berbalik dan  menemukan Michelle dan Aldino yang sedang duduk tak jauh dari tempatnya. Rifa masih mematung di tempat menatap mereka yang terlihat bahagia sementara Rifqi tidak tahu harus berbuat apa.

“Ma—maaf, Rif.” Rifqi tiba-tiba meminta maaf. Rifa pun memutarkan badannya lagi dan memutuskan untuk duduk kembali di hadapan Rifqi.

“Bukan salah lo, Rif,” ucap Rifa dengan senyum palsunya. Dia pergi meninggalkan restoran tersebut dengan mata berkaca-kaca. Rifqi tahu Rifa merasakan rasa sakit yang sama seperti yang sedang dirasakannya.

***

“Udah dong kamu nangisnya,” ucap Rifqi sambil mengusap-usap punggung Rifa, mencoba menenangkan gadis itu yang sudah setengah jam menangis.

“Rifqi! Gue tuh lagi sayang-sayangnya sama dia, terus dia ninggalin gue gitu aja. Lo ga pernah rasain rasanya di posisi gue, Rif.” Rifa terisak. Pipinya sudah basah oleh air mata yang terus mengalir dari pelupuk matanya.

“Ssstt... Gue tau lo bakal dapetin yang lebih dari ini di masa depan. Gue juga pernah ngerasain di posisi lo.” Rifqi mengusap air mata di pipi gadis itu.

“Rifqi, kalau bukan lo yang selalu ada di sisi gue, gue udah hancur kali,” ucap Rifa sambil tersenyum tipis.

“Lo tau kan temen-temen gue gimana? Mereka ninggalin gue pas gue lagi jatoh, sedangkan lo, lo selalu ada di sisi gue mau gue lagi bahagia atau terjatuh, lo selalu ada buat gue,” ucap Rifa. Rifqi masih terdiam menunggu Rifa melanjutkan kalimatnya.

“Gue pengen kaya cewek lain, Rif. Mereka punya sahabat cewek yang banyak, sedangkan gue cuma punya lo,” lanjut Rifa.

“Mereka kan gak punya gue, lo beruntung, Rifa,” ucap Rifqi.

Rifqi yang tidak mau melihat Rifa menangis dan tersakiti lagi akhirnya memutuskan untuk menghampiri Michelle dan Aldino. Rifqi berdiri di depan meja mereka. Perbincangan asik di antara dua orang di hadapannya mendadak terhenti. Michelle nampak terkejut, namun Aldino terlihat sangat santai.

“Ri—Rifqi? Lo kok di sini?” tanya Michelle terbata-bata.

“Al, gue pengen ngomong sama lo,” ucap Rifqi seraya menatap Aldino tajam.

“Ngomong aja,” jawab Aldino santai.

“Ga di sini, bego!” Rifqi menarik lengan Aldino dengan keras, meninggalkan Michelle yang masih kebingungan di tempatnya dan membawa Aldino ke parkiran.

“Apaan sih?” tanya Aldino heran.
Rifqi melepaskannya dengan kasar.

“Mau berapa kali lo sakitin sahabat gue?!” tanya Rifqi setengah membentak.

“Apaan sih? Gak jelas banget lo,” ketus Aldino.

“Jawab!” bentak Rifqi.

“Rif, denger yah, yang namanya cinta itu gak bisa dipaksain,” ucap Aldino.

“Gue sukanya sama Michelle tapi lo nyuruh gue buat bales cintanya Rifa. Biar gampang, lo sama Rifa aja, gue sama Michelle. Jadi kita gak musuhan kayak gini,” lanjut Aldino.

“Lo udah pernah nyatain perasaan lo ke Rifa, Al. Jangan-jangan pernyataan itu palsu!” tebak Rifqi.

“Cinta itu bisa berubah, ga selamanya kita jatuh cinta dengan orang yang sama, pasti berubah, Rif,” ucap  Aldino.

“Terus apa yang bikin cinta lo ke Rifa berubah? Michelle yang bikin semua itu berubah?!” tanya Rifqi, namun Aldino hanya tersenyum miring.

“Selama lo bersama sahabat gue dan Michelle, gue turun tangan. Inget itu!” ancam Rifqi sebelum berlalu meninggalkan Aldino.

***

Rifqi baru sampai di rumahnya jam tujuh malam. Menemukan ayahnya sedang menonton televisi di ruang keluarga. Laki-laki itu menoleh, sadar akan kehadirannya.

“Ke mana saja kamu?” tanya Roy, ayahnya.

“Bukan urusan anda,” ucap Rifqi seraya berjalan menuju kamarnya.

“Ayah tau kamu gak belajar kan di sekolah, kamu pasti main lagi kan sama anak IPS? Mau Ayah pindahin ke kelas IPA?!” Roy menghampiri Rifqi yang kini terdiam di tempat.

“Saya capek harus mengikuti kemauan anda, tapi anda tidak pernah ngertiin maunya saya,” ucap Rifqi, dia sering sekali berdebat dengan ayahnya.

“Ayah udah ngikutin maunya kamu! Ayah udah masukin kamu ke kelas IPS tapi kelakuan kamu seperti anak yang tidak pernah disekolahkan!” bentak Roy. “Kamu tadi kenapa gak ngangkat telepon Ayah?!”

“Anda ngerasain kan gimana rasanya telepon tidak diangkat karena kesibukannya? Itu yang saya rasain selama bertahun-tahun!”

Plak!

Roy mendaratkan satu tamparan keras di pipi Rifqi. Rifqi terdiam dengan wajah datar, sama sekali tak menunjukan rasa takut. Ia sudah biasa mendapatkan tamparan seperti itu. Rifqi langsung pergi ke kamar, malas melanjutkan debat dengan Roy.

Hari ini dia benar-benar badmood. Melihat Michelle bersama Aldino, melihat Rifa tersakiti oleh Aldino, dan ditambah lagi ayahnya yang baru saja menamparnya. Rifqi membaringkan badannya di ranjang.

Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi, seseorang meneleponnya. Rifqi mengabaikan bunyi telepon itu hingga berhenti, namun sebuah panggilan masuk lagi. Dengan malas, akhirnya Rifqi mengambil ponselnya. Nama Nadhif terpampang di layar ponsel. Rifqi pun memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Apa, Nad?” tanya Rifqi to the point.

“Gawat, Rif! Ke markas kita sekarang!” perintah Nadhif. Rifqi bisa mendengar nafas Nadhif yang tergesa di seberang sambungan. 

IPA & IPS (TERBIT & SUDAH DISERIESKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang