21. Masih Perduli

17 3 0
                                    

Mercy – Shawn Mendes

“MATI!”

Wajah Jonash seakan memucat, sedari tadi dia menggeledah seisi tasnya sesekali mengumpat pelan. Cowok itu mendongak, menatap Bu Ratna yang berdiri di depan kelas, menunggu pengakuan atas pertanyaannya yang tidak mengumpulkan tugas. Jonash masih belum menjawab, karena ia yakin dia sudah mengerjakannya. Dan tadi pagi dia sempat mengecek, tak ada yang tertinggal.

Sekarang? Setelah Jonash kembali dari koperasi benda persegi tersebut hilang entah ke mana.

Aldan di sebelahnya menatap remeh Jonash, seakan bilang lo-yang-ngingetin-dan-lo-sendiri-yang-gak-ngumpulin pada Jonash. Namun, Jonash tak menghiraukan itu. Sudah beberapa hari ini hubungan mereka merenggang. Meskipun sebangku, tak ada sapaan yang biasa Aldan ucapkan. Juga tak ada obrolan yang ia lontarkan pada Jonash.

Apa dia semarah itu?

“Lo kenapa, sih?” Egrid mengerutkan keningnya, melihat tingkah Jonash. Ia sedikit memajukan badannya. Berbisik pelan, “Lo nggak buat peer, ya?”

Jonash menoleh. Perlahan tangannya terulur, mendorong kening Egrid untuk menjauh darinya. “Ud—”

“Sekali lagi saya tanya, siapa yang nggak ngumpulin tugas?” Lagi-lagi suara yang berasal dari Bu Ratna menginterupsi Jonash. Jonash menelan ludahnya, sembari merapalkan kalimat “semua akan baik-baik aja”. Meskipun dia cukup tahu Bu Ratna—terlihat kalem, tidak se-killer Guru Fisika. Namun, Guru yang sudah berkepala tiga tersebut tak akan memberikan toleransi pada siswa yang tak menggarap peer.

Perlahan Jonash mengangkat tangannya ragu. “Saya, Bu,” akunya kalem. Sukses membuat semua mata teralih padanya. Termasuk tatapan mengerikan Bu Ratna.

“Kenapa nggak ngumpulin?” tanya beliau dengan tatapan yang sama.

“Buku saya hilang.”

Bu Ratna melotot. “Kok bisa? Alasan aja kamu! Pasti kamu males kerjain kan?! Kemarin alesannya lupa, sekarang hilang. Kamu niat sekolah apa nggak, sih?!”

Sebenarnya ingin sekali Jonash meralat—soal kemarin yang lupa, itu bukan dirinya, melainkan si Nino. Tapi apa daya, salah tetap saja salah. Sekarang semuanya menatap iba pada Jonash, sebagian menahan tawa.

“Baiklah, pulang sekolah kamu saya hukum bersihkan koridor depan.”

Ok..e, mungkin ini bukan hal buruk.

[.]

“Kok bisa?” Akhirnya Egrid menyikut lengan Jonash karena sebelumnya Jomash sama sekali tak menggubris dirinya. Penglihatan Jonash yang terfokus pada teman sekelasnya yang sedang berlari untuk penilaian olahraga harus teralihkan karena ulah Egrid. Dia menatap malas.

“Apa?” tanyanya, dengan nada sesabar mungkin.

Egrid menghela napas, ia mengulangi pertanyaannya lagi. Awalnya balasan yang ditunjukkan Jonash hanya sebuah endikkan bahu, namun, lagi-lagi Egrid membuat Jonash bicara.

Priiitt!!

“Ahmad, Agus, Nino, Khalil!” Seruan milik Pak Rio terdengar keras di sekitar lapangan outdoor yang kini cuacanya begitu terik. Sebagian murid perempuan yang belum dipanggil, menyingkir di bawah pohon sambil bergosip, dan beberapa yang tidur. Sedangkan yang laki-laki lebih memilih bermain bola di lapangan yang tak jauh dari tempat penilaian olahraga.

What's the Problem? [ON HOLD]Where stories live. Discover now