20. Pelarian

22 2 0
                                    

Ruang Sendiri - Tulus

MALAM merupakan waktu favorit Jonash. Karena saat malam merupakan saat yang tepat untuk melihat bintang-bintang bertaburan. Seperti saat ini, Jonash duduk bersandar di kursi gantung favoritnya. Kepalanya menengadah ke atas. Menatap lurus bintang-bintang, sembari membentuk sebuah formasinya sendiri.

Cowok bermata cokelat itu sering melakukannya di malam hari. Namun, bukan seperti kebanyakan orang yang suka menyendiri di bawah suasana langit malam sembari merenungkan masalah, melainkan Jonash hanya diam, mencari ketenangan sembari melatih kreativitasnya membentuk bintang.

Hingga suara ketukan pintu—yang kemudian di sertai jawaban mengiyakan Jonash—yang berasal dari pintu kamar Jonash merusak segalanya. Merusak malamnya.

Siapa lagi kalau bukan Ario, Papskynya. Beliau kerap kali mengacaukan malam Jonash dengan sindirannya—yah, tak bisa dipungkiri kalau Ario juga sering memberikan saran dan nasehat padanya. Tapi tetap saja.

"Kenapa, Pap?" tanya Jonash malas, memberengut sebal begitu Ario duduk di sebelahnya.

Ario mendelik tajam. "Kok gitu? Nggak sopan banget sama orangtua."

Jonash menghela napasnya. Memasang senyum terpaksa. "Hai Papsky, tumben. Ngapain nih?" tanyanya dengan nada dilembut-lembutkan. Ario tersenyum puas.

"Kaya biasa. Gangguin anak Papsky." Ario menjawab bangga.

Namun, Jonash hanya mengangguk. Kali ini ia tak merespon ucapan Ario. Lebih memilih melanjutkan aktivitasnya tadi. Ario menatap aneh putra sulungnya tersebut. Tak seperti biasanya yang langsung mengomel-ngomel tentang kehadirannya yang mengusik ketenangan Jonash. Dan sekarang? Boro-boro ngomel, respon saja tidak.

"Kenapa kamu?" Jonash menoleh saat suara Ario menginterupsinya. Jonash memasang wajah tanya. "Tumben nggak ngomel? Ada masalah?—Tapi, halah, jones aja, punya masalah apa sih emang?"

Tuh, mulai kan?

"Nggak ada."

Ario mengerutkan keningnya. Merasa tak yakin dengan jawaban Jonash. Ario tersenyum. Memetik jari di depan Jonash. "Papsky tau, kamu pasti lagi galau gara-gara gak ada cewek. Iya kan?"

Jonash menatap bosan. "Apa sih, Papsky, yang dibahas itu-itu mulu, deh," sungut Jonash.

"Ya kan Papsky cuma nebak. Gini deh, gimana kalau Papsky kenalin kamu sama anaknya temen Papsky? Kebetulan lusa keluarganya bakal makan malam di sini."

Jonash mengernyit. "Lusa? Temen Papsky? Makan malam? Ih, kok kesannya mendadak gitu? Jonash belom tau sama sekali loh."

"Ini dikasih tau. Emang Papsky sempat lupa ngasih tau." Ario nyengir. Jonash mendengus. "Tapi, anaknya cantik loh. Namanya Alena, seumuran sama kamu."

"Pasti cewek."

Ario mendelik. Tangannya bergerak menjewer telinga Jonash. "Serius! Namanya juga cantik, pasti cewek! Kamu pikir jadi-jadian?"

"Bencong dong—EEH! IYA, ASTAGA!" Jonash memekik, mengangkat tangannya. Mengantisipasi saat mata Ario melotot padanya. Ia mengusap bekas jeweran Papsknya. Lagian, orang lagi nggak mood tiba-tiba ditawarin cewek. "Iya, trus mau diapain itu cewek?"

Ario tersenyum penuh arti. "Gebet dong."

"Oh, jadi intinya Papsky mau jodohin Jonash, gitu? Ah, nggak ah. Males," tolak Jonash. Masa, Papsky pikir Jonash apa main jodoh-jodohin segala?

"Siapa juga yang jodohin. Ajak kenalan aja dulu. Ya kali, tiba-tiba ngejodohin, pasti dia milih-milih dong."

Jonash termenung. Mencoba mencerna baik-baik tawaran Ario. Dari awal-sejak kedatangan Ario—tebakan Ario mengenai cewek memang benar adanya. Namun, yang membuat berbeda adalah satu; Jonash ragu untuk tetap menyimpan perasaannya atau lebih memilih untuk melepaskan saja mulai detik ini? Memang waktu itu dia memilih untuk menyimpannya saja—jika suatu saat nanti masih ada harapan untuknya. Tapi, di mana ada harapan pastilah harus ada persiapan bukan?

What's the Problem? [ON HOLD]Where stories live. Discover now