☘️ Prolog ☘️

23.8K 1.6K 229
                                    

Hell ... yeah, ini naskah lama. wkwkwkwkkwkwk. sengaja aku ikutin Nubar di bulan maret bareng SamuderaPrinting Iya ....aku banyak hutang ke kalian, insyaallah bakalan aku tamatin satu-satu. Tolong dimaklumi yak. 

Makasih, udah mau baca cerita yang udah aku tulis saat awal-awal nyemplung di Wattpad. jadi ... ya, gitu deh. wkwkwkkwkw. Semoga bisa kelarin yak.

※※※※※※※※※

"Cukup, Kek!" Pelangi menghembuskan napas beratnya, mencoba memahami arti obrolan kali ini. Sekali saja, ia tak mau berdebat, terlebih lagi jika musuhnya adalah sang Kakek.

Pembicaraan ini sudah berkali-kali terjadi, dan Pelangi sudah bisa menduga jika ini akan berujung keperihal yang sama. Pernikahan.

Apa yang salah dengan dirinya. Ia baru berusia dua puluh delapan tahun, haruskah ia terburu-buru menikah. Untuk kesekian kalinya juga Pelangi menolak rencana perjodohan tersebut.

Tidak ada yang salah tentang pernikahan, hanya saja Pelangi masih ingin melajang. Menikmati hidup lebih tepatnya. Ia masih berkeinginan membahagiakan sang Kakek, meski jalan menuju kebahagian itu bukan melulu soal pernikahan.

Jika saja Pelangi bisa menemukan tambatan hatinya, mungkin Kakek Broto juga takkan merongrongnya dengan segala jenis perjodohan berujung pernikahan.

Hembusan napas kembali terdengar kali ini dari pria renta yang ditaksir berusia enam puluhan tersebut. Pelangi tak bergeming, mencoba mengabaikan sinyal Kakek Broto agar lebih fokus dalam pembahasan kali ini. Lebih memilih menatap ke luar jendela, ia memandang semburat jingga yang menghiasi langit sore hari.

Alangkah indahnya.

Pelangi bahkan lupa kapan terakhir kali ia melihat sang Surya kembali keperaduannya. Memancarkan sinar keemasan, yang membuat siapa saja mampu berdiam diri berjam-jam hanya untuk melihatnya.

Dalam pikiran Pelangi, tanggung jawab sebagai General Manager bukanlah hal yang main-main. Daripada memikirkan pernikahan, ia lebih sering menyibukkan diri di kantor dengan sejuta pekerjaan, agar hotel yang ia pimpin makin maju. Tak jarang Pelangi lembur bahkan tidur di salah satu kamar yang memang disediakan untuk dirinya, jika Pelangi malas pulang.

Pria yang sudah lebih dari paruh baya itu hanya bisa terduduk lesu. Ia mengurut pangkal hidungnya yang mendadak terasa sakit. Broto Suseno sudah kehabisan akal dalam hal membujuk Pelangi, cucu kesayangannya.

"Sampai kapan kamu melajang?" Pelangi mengangkat bahunya. Mamang. Sampai kapan ia melajang? Dirinya juga tak tau sampai kapan.

Mungkin jika ia menemukan Senja-nya.

"Kamu gak bosen sendirian?"

"Ck! Ngapain mesti bosen, Kek? Ada Kakek juga Bang Daniel."

"Tapi Kakek gak pernah liat kamu punya teman lagi, selain kami."

Pelangi beranjak dari sofa, menghampiri meja kerjanya. Menyandarkan pantatnya di pinggiran meja, menghadap keluar jendela.

"Bagiku Kakek dan Bang Daniel udah cukup."

Penegasan gadis berusia dua puluh delapan tahun itu justru semakin membuat kepala Broto semakin pening. Seribu kali ia mencoba, seribu kali juga ia jumpai kegagalan. Apa susahnya menikah? Toh, Pelangi tak perlu susah payah mencari seorang pria.

Beberapa anak dari kolega Broto sudah melayangkan lamaran. Akan tetapi, tak satu jua yang diterima oleh Pelangi. Kakek Pelangi selalu mendengar alasan yang sama dari cucunya itu: 'belum ingin menikah'. Hal yang aneh bisa dikatakan gila.

Bagi sebagian wanita di luar sana lebih memilih menikah diumur dua puluh lima tahun lebih dari itu mereka akan pontang-panting mencari jodoh.

Sedangkan Pelangi malah bersantai ria, ia tak menganggap menikah adalah suatu hal penting.

"Cuma satu permintaan Kakek, Nyi."

Pelangi mengigit bibir bawahnya, selalu seperti ini. Toh yang namanya jodoh tetep akan ketemu meski dirinya berada di Kutub Utara sekalipun.

Tidakkah Kakek tahu, bahwa ia hanya ingin bersamanya dan menghabiskan waktu sebanyak yang Pelangi bisa.

Tatapan mata Pelangi berubah sendu. Mata cokelatnya tak bisa menjauh dari warna jingga yang menghiasi langit di ufuk barat.

Ia tahu akan kehilangan Kakeknya suatu saat nanti, mengingat riwayat penyakit jantungnya. Semakin hari waktu yang ia punya semakin menipis. Pelangi tak tahu pasti kapan perpisahan itu akan terjadi.

Kakek Broto membenarkan posisi duduknya di sofa. Mengikuti arah pandang yang tertuju kepada cucu semata wayangnya.

Ia tahu apa yang ada dipikiran cucu perempuannya itu. Seseorang bernama Senja. Senja-nya. Bocah laki-laki yang mengucapkan seuntai janji yang masih terngiang di sanubarinya.

"Kakek mohon, Nyi."

"Kek ...."

"Maafkan Kakek, Pelangi. Kakek terpaksa melakukannya." Tak ayal Pelangi menoleh cepat begitu mendengarnya, melemparkan tatapan tak percaya.

"Jangan bilang ...."

"Kakek menerima lamaran dari keluarga Prayoda."

Seketika pening menerjang kepala Pelangi. Bagaimana bisa? Bahkan ia tak diajak diskusi untuk hal ini.

"Tapi Kek ..."

"Tak ada penolakan, Pelangi!"

Hati Pelangi mencelus mendengar kata-kata terakhir Kakek. Entah ini perjodohan keberapa yang telah direncanakan kakeknya. Ia memejamkan mata sejenak, perasaan waswas mulai menggayutinya, dibayang-bayangi perasaan takut yang semakin mendominasi. Ya, ia takut kehilangan orang yang ia sayangi lagi.

Hatinya ragu, kegagalan masa lalu kembali berputar-putar di otaknya. Betapa mengerikan nyeri yang ditimbulkan laki-laki itu, yang dengan tega mencampakkan Pelangi dan menudingnya sebagai pusat semua ketidakbahagiaannya. Sejak awal ia tahu keberadaannya tak diinginkan. Namun Pelangi menutup mata dan menguatkan hati, mengatakan dirinya baik-baik saja.

Betapa ia begitu memuja sosok tersebut, menjadikannya panutan. Betapa ia begitu membanggakan pria itu... Tapi sekonyong-konyong pria itu mengempaskannya sedemikian rupa, dan ia jatuh ke dalam jurang kenestapaan.

Hatinya terlampau sakit, bukan ia tak mau memaafkan. Berharap dia akan datang dan merengkuhnya, mengucapkan jutaan kata maaf sekaligus kata cinta bahwa kehadirannya memang diharapkan.

Ia membenci dirinya yang dulu tak berdaya ketika punggung pria itu menjauh, dan hilang di ujung jalan, menyisakan tangisan yang setiap hari didengar. Pelangi berharap mampu mengubahnya menjadi sebuah tawa bahagia, tetapi dia hanyalah bagian dari suara terisak lirih.

Pelangi melirik wajah tirus sang kakek, lelaki itu tak lagi muda. Keriput menghiasi wajah tampan kakek Broto. Selama ini, kebahagiaannya yang selalu menjadi prioritas. Tak ada salahnya kan dia menuruti kemauan kakek, toh untuk pertama kalinya ia meminta.

Haruskah ia menerimanya?

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

-Dean Akhmad-

01/03/2022

SENJA ITU JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang