3 lawan 1

689 55 3
                                    

Aku dan dua kenalanku berdiri sejajar, menonton para manusia sangar maju bersamaan. Detik berikutnya aku harus melompat ke sana kemari menghindari orang-orang yang terpental. Si Pria merentangkan kedua tangan, semua tampak normal.

Sisa orang-orang sangar yang masih berdiri mematung, gemetar lalu berteriak kencang sekali hanya untuk berlari maju dan terhempas.

"Lemah..." ia terkekeh.

Si rambut merah dengan pedang bergerigi maju. Ia menerjang lurus dengan bilah terangkat ke atas kemudian mengayunkannya tepat di pusat gravitasi lawan.

Nihil. Sang lawan menahannya dengan kedua tangan. Si penyerang menarik pedangnya cepat, melakukan serangan beruntun dari kiri, berlanjut kanan, tebasan lurus dari atas diakhiri tusukan dan seluruhnya gagal. Pedang itu berhasil mendarat tepat di hasta dan telapak tangan Sang Lawan tapi ia tidak terluka.

Jarak mereka terpaut beberapa meter. Si Pria berdiri tegak seolah menantang. Lawannya mengatur napas, mengisi tiap mililiter darahnya dengan oksigen.

"Segitu saja?" Sang pria rambut hitam menyeringai.

"Baiklah pemanasan selesai." Kaki kanan dan berat badan si merah di depan, kuda-kuda untuk melesat lalu menyerang standar. Tapi alih-alih melesat, ia menghilang.

Selama beberapa menit berikutnya yang kulihat hanya si pria berambut hitam menangkis serangan dari segala sisi tanpa melihat penyerangnya. Si merah bergerak terlalu cepat.

Perlahan tapi pasti kecepatan si penyerang menurun. Aku mulai bisa melihat sosoknya menerjang dengan napas pendek-pendek. Sisa beberapa napas terakhir, si merah terlihat sepenuhnya. Dia menebas datar horizontal dengan sisa tenaga melompat lurus dari depan si hitam. Jarak mereka kembali terpaut beberapa meter dengan keduanya hampir kehabisan napas.


"Kakak mundurlah, kau bisa mati karena seranganmu sendiri!" si rambut merah di sampingku meneriaki si merah penyerang untuk mundur.

Sang lawan melesat, lurus ke arah kami berdua. Si merah di sampingku melepaskan pedang lalu mengangkat kedua kedua tangan di depan dengan posisi terkepal. Sepersekian detik sebelum si pria hitam menghempaskan kami berdua dengan pukulannya, tanah di depan si merah melesat naik. Serangan terhenti.

Kudapati tangan si merah gemetar menahan terjangan si hitam. Aku merasa jika kami bertiga menyerangnya bersama-sama mungkin akan berhasil. Tubuhku melesat maju, menerjang tanah yang dihantam si hitam. Tangan kiriku mendarat terlebih dahulu tepat di retakan yang disebabkan lawan. Tanah itu pecah dan tangan kami bertemu.

Kaki si hitam melejit ke atas mengincar kepala, reflekku menarik setengah tubuh ke bawah berada dalam posisi menunduk. Serangan itu mengantam angin kosong, lewat beberapa mili di atasku.

Sebagai balasan aku kuayunkan kaki kiri menyapu satu kaki yang menahan berat badan si hitam, menyerang tepat di tulang kering. Ia terpelanting hampir jatuh ketika tanpa kuduga ia bisa melakukan putaran di udara dalam posisi seperti itu.

"Ternyata ada beberapa ikan besar di antara para teri." si hitam mendarat sempurna dengan dagu terangkat seolah menantang. Jarak kami hanya sejauh satu hentakan kaki.

Tubuhku bergerak tanpa perintah, melesat cepat lurus mengayunkan tangan kiriku dengan kepalan sekeras mungkin. Reflek si hitam tidak kalah cepat. Ia menunduk, menggapai siku dan lenganku dari bawah lalu mengubah arah seranganku ke atas. Aku terpelanting melayang beberapa meter di udara.

Si hitam melompat mengejar, hendak menyerangku yang tidak bisa menghindar. Ketinggian lompatannya di atasku dengan kaki kanan terangkat, lalu mengayun kencang menyasar dada. Tangan kiriku kembali bergerak tanpa instruksi, menangkap kaki lawan kemudian melemparkannya ke tanah. 

Terjadi dentuman di tanah beberapa detik sebelum aku mendarat dengan punggungku sebagai bantalan. Lawanku susah payah bangkit, berusaha mengembalikan kekuatannya dengan mengatur napas. 

Aku berdiri, merasakan nyeri menjalar di sekujur tubuh. 

"Hanya itu?" si hitam sudah mengembalikan kekuatannya. Sekali lagi ia menantangku. 

Tepat sebelum aku melesat dengan ayunan tanganku untuk kali kedua, si merah yang pertama kali menyerang maju menerjang. Lurus ke depan dengan pedang rendah, menebas dari bawah ke atas. Si hitam melompat mundur disambut dengan si merah kedua menghantamnya dari belakang. 

Pedang si merah kedua diselimuti api, terjadi ledakan ketika bilahnya menghantam tubuh lawan. Si hitam terhempas kembali ke arah si merah pertama lalu satu serangan horizontal pendek dengan pedang diselimuti aura besar melemparkannya.

Si hitam melesat menabrak tembok di pinggir arena.

"Kalian boleh juga." 

Unknown Knight S1 (End) Where stories live. Discover now